Monday 27 December 2010

Poto Malam

Malam hari, cuaca cerah... Bulan terlihat 3/4 bulat... Sangat cocok untuk menguji coba lensa 720mm bawaan kamera...


Setelah selesai foto bulan, lanjut ke jembatan penyebrangan deket rumah... heheheh


Monday 20 December 2010

Belajar Foto

Yah, mungkin agak sedikit terlambat untuk belajar Fotografi...
Tapi tak mengapalah, sebab baru-baru sekarang ini saya baru bisa kebeli kamera digital dengan uang sendiri, itupun juga sebuah kamera Prosumer Biasa, bukan DSLR.

Sengaja saya buat blog ini untuk mengorganisasi hasil-hasil jepretan saya agar tidak berantakan.

Ini sedikit hasil (ya memang sedikit) yang saya foto kemarin waktu CFD.


Friday 17 December 2010

Perjalanan ke Pulau Morotai.

Perjalanan ke Morotai ini merupakan Proyek pertama perusahaan yang saya kelola sendiri. Alhamdulillah walaupun masih skala kecil namun sudah dipercaya oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan untuk melaksanaan pekerjaan di Morotai.

Perjalanan saya ke Morotai ini berlangsung tidak lama, hanya 4 hari, karena memang kuantitas dan kualitas pekerjaan yang sedikit.

Oke, seperti biasa, saya tidak akan menceritakan pekerjaan apa yang saya lakukan di sana. Tapi saya akan menceritakan bagaimana perjalanan saya disana.

Dimana sih letaknya Pulau Morotai itu?
Secara administrasi, nama Pulau Morotai adalah, Kabupaten Pulau Morotai, terletak di bawah Provinsi Maluku Utara. Letak persisnya ada di utara Pulau Halmahera (Lihat gambar merah di bawah).


Untuk dapat mencapai ke Morotai, kita terlebih dahulu naik pesawat ke Pulau Ternate (Bandara Babulah). Jangan khawatir, walaupun pulau kecil (keliling hanya 42km), Ternate ini Kota Besar menurut saya dengan fasilitas yang lengkap, jadi Penerbangan ke sana pun sudah banyak dan reguler setiap hari. Contoh dari Jakarta saja sudah ada penerbangan seperti Batavia, Sriwijaya dan Lion. 

Saya sendiri memilih Batavia Air, yang berangkat jam 1.30, karena penerbangan tersebut langsung ke Ternate, tanpa transit ke kota lain dulu (biasanya transit di Surabaya dan Ujung Pandang). Penerbangan berlangsung selama 3 jam 30 menit dan saya tidak bisa tidur, karena suhu kabin yang sangat dingin hingga membuat saya menggigil. Beruntung para penumpang mendapat hidangan kopi/teh hangat dan makanan berupa nasi box, lumayan untuk menghangatkan badan sejenak.
Harga tiket ke Ternate sekali jalan berkisar antara 900-1,5 juta rupiah. Oleh karena itu jika ingin ke Ternate pastikan anda sudah membooking tiket jauh-jauh hari agar dapat harga murah.

Jika sudah sampai Ternate, anda dapat melanjutkan perjalanan ke Morotai dengan beberapa alternatif pilihan.

Yaitu via Udara, Lintas (laut,darat,laut) dan Laut.
Di blog ini akan saya jelaskan mengenai 2 perjalanan yang saya tempuh, yaitu Udara dan Lintas. Untuk yang laut, saya hanya dapat sedikit informasinya, kalau tidak salah hanya ada 1 kali seminggu kapal dari Ternate - Morotai dan sebaliknya.

Karena tidak dapat tiket langsung pada hari Senin (saya tiba hari Senin), maka saya terpaksa membeli tiket Merpati untuk keesokan harinya, untung masih dapat. Saya pun punya kesempatan 1 hari untuk menginap di Ternate.
Pulau ternate ini sangat kecil, keliling hanya 42km, kurang lebih 1,5 jam keliling dengan motor perjalanan santai. Sebenarnya pulau Ternate ini adalah Pulau Gunung Vulkanik dengan Gunung Vulkanik (Gunung Gamalama) di tengahnya. Kota Ternate hanya ramai di sisi yang menghadap ke Pulau Halmahera, sedangkan sisi yang lain masih hutan belantara.

Sama seperti permasalahan kota besar lainnya, sepertinya pemukiman padat dan kumuh juga tidak bisa dihindari.


Dan berikut sedikit foto-foto pelabuhan Ternate dan suasana malam ketika saya berjalan-jalan sore di Morotai.









Perjalanan via Udara menuju Morotai dapat ditempuh via Merpati. Penerbangan ini merupakan penerbangan perintis yang disubsidi oleh pemerintah. Harga tiketnya sangat murah hanya 250ribu (kurang lebih sama dengan kalau kita naik Lintas, yang akan saya jelaskan nanti di bawah).
Jadwal Merpati hanya ada Senin, Selasa, Rabu dan Sabtu. Yang patut diingat adalah, karena Pesawat yang digunakan adalah jenis Cassa 212 yang hanya muat untuk 12 orang, maka sebaiknya anda sudah membooking juga dari jauh-jauh hari.


Pesawat ini sangat sempit, format tempat duduk hanya 1-2. antara kabin penumpang dan pilot hanya dipisahkan oleh kelambu kain, tanpa ada pintunya, jadi kita bisa melihat agak jelas apa yang sedang dilakukan oleh pilot.


Perjalanan menuju Morotai via Udara memakan waktu kurang lebih 45 menit. Kebanyakan terbang tidak terlalu tinggi di atas pulau Halmahera



Pulau Morotai memiliki sejarah sendiri, yaitu sebagai markas sekutu ketika Perang Dunia, sebenarnya Morotai memiliki 7-9 runway di Landasan Udaranya, namun sayang hanya digunakan 1 saja.
Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai sejarah Morotai, sejarah Morotai dapat anda lihat salah satunya di sini.

Sesampainya di Morotai saya sudah langsung disambut dengan orang Dinas Kelautan dan Perikanan setempat. Saya langsung di arahkan ke Penginapan setempat, Penginapan yang cukup nyaman menurut saya hanya ada 2, yaitu Pacific Inn dan Penginapan Sinar Mas, dengan harga 250ribu lebih per malamnya.
Yang patut diingat adalah, di Morotai selalu terjadi pemadaman listrik pada jam 13.00-18.00. Jika anda berencana tinggal di Morotai, harap diingat jadwal pemadaman ini, jangan sampai anda tidak dapat mencharge HP/Laptop/Kamera dll...

Ketika datang saya langsung bermalam di salah penginapan yang saya sebutkan tadi sebelumnya, lalu bersiap-siap untuk besoknya memulai pekerjaan.

Pekerjaan saya dilakukan di salah satu desa, tidak jauh dari Daruba (Kotanya di Morotai), kurang lebih 30menit dan jalannya lumayan bagus...

Pantai-pantai di Pulau Morotai lebih banyak Pasir Hitam, dan banyak terdapat perkampungan nelayan.




Pekerjaan saya selesaikan dalam waktu 2 hari saja, masih ada sisa waktu 1 hari sebelum saya pulang ke Jakarta (via Ternate). Saya pun meminta kawan saya yang bekerja di Dinas Kelautan dan Perikanan untuk dicarikan sebuah perahu untuk ke Pulau Dodola (salah satu tujuan wisata di Morotai).

Akses ke Pulau Dodola dapat ditempuh hanya dengan mencarter sebuah speed boat, namun harganya sangat mahal, paling tidak bisa 500-1juta sekali carter untuk perjalanan PP (jika hari sabtu-minggu akan murah, soalnya banyak yang pergi, jadi harga sewa bisa patungan dengan penumpang lain). Karena relatif mahal, maka saya disarankan untuk menyewa ketinting (atau mereka menyebutnya dengan "Body", mungkin karena Body-nya terbuat dari Fiberglass atau karena ada Body Samping).
Menyewa Body lebih murah jika dibanding kita menyewa speed boat, namun dengan konsekuensi lebih lambat jalannya. Tapi tidak masalah, karena justru kita bisa lebih menikmati perjalanan.

Kurang lebih bentuknya seperti ini:

Pemberhentian pertama adalah Pulau Zum-zum, dengan pasir pantainya yang putih dan sedikit batu-batu kecil. Harap berhati-hati jika anda berjalan kaki disini, karena banyak bangkai bekas kendaraan tempur yang sudah berkarat dan tertimbun pasir atau tanah. Berikut sedikit keindahan pulau Zum-Zum.





Selesai mengunjungi pulau Zum-Zum, perjalanan saya lanjutkan ke Pulau Dodola. Sepanjang perjalan saya takjub dengan keindahan Bahari Kepulauan ini. Bagaimana tidak, ketinting sudah berkilo-kilo jauhnya dari bibir pantai terdekat, tapi kedalaman laut hanya berkisar 1-3meter, sehingga terumbu karang pun sangat terlihat dari atas ketinting. Namun sayang saya tidak memfotonya, karena dalam keadaan jalan air laut nyiprat-nyiprat dan saya belum punya underwater casing untuk Kamera saya.

Sesampainya di Pulau Dodola, saya dibuat takjub oleh keindahan alamnya. Hamparan pasir putih yang luas air laut yang sangat jernih. Setelah sedikit berfoto-foto, saya pun langsung menceburkan diri saya ke laut.
Satu hal yang membuat saya menyesal adalah, saya tidak membawa peralatan snorkling saya, karena tas sudah terisi penuh.








Kurang lebih seperti ini perjalanan saya yang berhasil saya rekam via GPS (start dari Pulau Zum-Zum):


Saya pun kembali lagi ke Daruba untuk menginap semalam sebelum akhirnya saya harus kembali ke Ternate.
Karena tidak mendapat tiket Merpati ke Ternate. Maka saya memutuskan untuk naik Lintas, hitung-hitung sebagai pengalaman.

Naik Lintas ada beberapa tahapan, pertama saya harus naik speed boat dari Morotai ke Tobelo (Halmahera Utara)

Speed Boat dari dan menuju Tobelo sangat terbatas, dari Morotai pastikan anda sudah standby di Pelabuhan jam 8 pagi (begitu juga jika anda dari Tobelo). Tiketnya relatif murah, hanya 50ribu saja. Maklum murah, sebab kapasitas speed boat relatif besar, muat hingga 50 orang.
Daripada duduk di dalam, saya memilih untuk duduk di atap speed boat, sambil memandangi perairan Halmahera Utara yang indah, sesekali saya menemui kawanan lumba-lumba yang mengikuti speed boat, namun sayang saya kurang cepat mengambil kamera.



Sesampainya di Tobelo, saya langsung disambut oleh perantara Angkutan yang siap mengantarkan tujuan berikutnya yaitu Sofifi. Jangan kaget dengan Angkutan di Halmahera, anda tidak akan menemukan Carry biru atau Kijang kotak layaknya di Jakarta (carry memang ada, tapi hanya untuk jarak dekat). Angkutan yang digunakan adalah Toyota Innova, Toyota Rush, Avanza, Honda Jazz, bahkan untuk ke rute lain digunakan X-Trail dan Pajero, dan semua kendaraan tersebut adalah Angkutan resmi dengan plat kuning.

Setibanya di Sofifi, saya harus menyebrang lagi dengan speed boat, namun bedanya speed boat yang digunakan lebih kecil, dengan biaya sewa sebesar 300ribu dan muat untuk 6 orang, jika sudah lengkap 6 orang, maka ongkosnya dapat dibagi 6 hingga kita tinggal bayar 50ribu saja.

Awalnya saya ingin duduk diatas seperti sebelumnya, namun oleh operator speedboatnya hal itu dilarang, karena pernah ada yang jatuh sebelumnya. Ternyata memang benar, selama perjalanan speed boat yang saya tumpangi sering lompat-lompat, mungkin karena ukurannya yang kecil, tidak terbayang jika memang saya duduk diatas tadi.


Tiba di Ternate sudah menjelang malam, dan saya pun mencari penginapan murah di tengah Kota agar besok pagi saya tidak tertinggal pesawat menuju Jakarta.

Dan akhirnya perjalanan saya ke Morotai selesai sudah.

Tuesday 14 December 2010

Perjalanan ke Natuna II

Kurang lebih 2 bulan berlalu, akhirnya dapat info bahwa perusahaan tempat saya bekerja lolos tender. Akhirnya saya dipercaya sebagai supervisor lapangan yang bertugas untuk memimpin teman-teman teknisi yang akan bertugas di Natuna.

Pada bulan Juli saya dan tim saya berangkat ke Natuna. Masih sama dengan sebelumnya, dimana saya harus mampir ke Pontianak terlebih dahulu.
Bedanya, sekarang saya bisa langsung naik pesawat, karena sudah dibuka penerbangan ke Natuna.
Kalau tidak salah, berikut adalah penerbangan-penerbangan yang melayani rute Natuna secara reguler.



1. Riau AirLines (RAL)
Saya kurang tau dengan jadwal RAL.


2. Trigana Air (Berangkat dari Pontianak)
Menggunakan Pesawat jenis ATR, kalau tidak salah berangkat dari Pontianak hari Selasa dan Jumat.
Pada waktu berangkat dari Pontianak ke Natuna, saya menggunakan pesawat ini. Karena pengalaman pertama naik pesawat baling-baling, saya agak was-was, heheheh.. Benar saja, apalagi karena waktu mendarat tidak mulus, pesawat sempet terpental dulu sebelum akhirnya benar-benar mendarat secara mulus. 
Saya sempat berfikir apakah hal ini terjadi pada setiap pesawat baling-baling? Ketika hal itu saya tanyakan ke  kawan saya yang Perwira AU yang sangat paham dunia penerbangan (tentu saja, karena dia Perwira Control di Lanud) , dia jawab seharusnya tidak begitu, karena seharusnya setiap pendaratan harus mulus, karena kalau tidak mulus beresiko merusak Landing Gear.
Kalau tidak salah ingat, harga tiket Trigana Air berkisar antara 600ribu-800ribu rupiah.

3. Wings Air (Berangkat dari Batam, bisa langsung nyambung dari/dengan pesawat Lion Air. Silakan konsultasikan dengan agen travel langganan anda).
Saya kurang paham dengan jadwal Wings Air ini, yang jelas sepengetahuan saya, Wings Air ini berangkat dari Batam. Bisa langsung nge-link dengan Lion Air (tentu saja karena satu grup), untuk keterangan penerbangan Lion Air - Wings Air dari kota anda, silakan konsultasikan dengan agen travel anda.
Saya pulang dari Natuna menggunakan pesawat ini, yang jelas pesawat ini lebih "nyaman" dibanding Trigana. Pendaratannya pun sangat mulus. Berarti saya bisa ambil kesimpulan, apapun pesawatnya minumnya teh botol sosro, eh bukan... apapun pesawatnya, kalau pilotnya handal, pasti nyaman.
Harga tiket untuk penerbangan langsung Lion Air-Wings Air berkisar antara 1,2juta-1,8juta rupiah.

Biaya hidup di Natuna cukup mahal. Sebagai ilustrasi, apabila di Jakarta dengan uang 20ribu rupiah kita bisa makan 3x sehari dengan menu warteg, maka jika di Natuna bisa meningkat hingga 3x lipat, minimal kita butuh antara 75ribu-100ribu dalam sehari.

Oleh karena rencana pekerjaan yang akan memakan waktu lebih dari 1 bulan, maka tim saya arahkan ke sebuah penginapan "sederhana" minim fasilitas, karena apabila saya tempatkan di Hotel, bisa habis anggarannya hanya untuk tempat tinggal. Tarif hotel kurang lebih 250ribu-300ribu rupiah untuk level minim, tapi berAC memang (mungkin jika dibanding di Jakarta, harga segitu sudah oke fasilitasnya).

Saya tidak akan menjelaskan tentang pekerjaan apa yang kami lakukan disana, tapi saya akan lebih menjelaskan tentang "keadaan" alam di sana dari foto yang berhasil saya ambil.

Natuna menurut saya adalah sebuah Pulau Batu yang berukuran sangat besar, tidak terdapat gunung Vulkanik disini, hanya sebuah Gunung Batu setinggi sekitar 1000an meter, atau dikenal dengan gunung Ranai.

Foto di atas merupakan pemandangan Masjid Agung Natuna dengan latar belakang Gunung Ranai. Masjid Agung Natuna merupakan Landmark Pulau Natuna.
Menurut saya pribadi, masjid ini terlalu "agung" jika dibandingkan jumlah penduduk Natuna. Sebagai ilustrasi, pada setiap Shalat Jumat, hanya terisi 6-7 shaf saja. Dan banyak gedung-gedung kosong disamping masjid (mungkin dahulu dimaksudkan sebagai kantor sekretariat.

Kandungan granit dalam batu-batuan Natuna sangat tinggi, namun oleh pimpinan daerah setempat batu-batuan tersebut tidak diizinkan oleh keluar Natuna. Jadi ya jangan heran, jika bahan batu dengan kandungan granit tinggi hanya menjadi bahan fondasi bangunan atau bahan pemadatan jalan.

 Seperti itu batunya jika dilihat dari dekat, dan hanya dijadikan fondasi-fondasi rumah...

Oleh karena waktu saya kali ini di Natuna lebih lama, jadi saya bisa punya banyak waktu untuk mengeksplorasi Pulau ini.

Secara umum, kondisi Pantai di Natuna cukup indah dan alami, namun sayang kurang didukung oleh kesadaran warganya untuk menjaga kebersihan pantainya, saya sering menjumpai sampah-sampah plastik yang berada di pantai, seperti yang saya foto dibawah ini.


Berikut adalah beberapa foto-foto pantai di Natuna yang berhasil saya foto:

Pantai Tanjung:



Pantai tanjung ini terletak di Desa Tanjung, tidak jauh dari "Kota" Ranai, kurang lebih sekitar 10km. Akses jalannya pun sudah aspal.

Pantai ini banyak dikunjungi oleh warga di hari Sabtu-Minggu, bahkan kadang dibuat arena balap liar motor di pasir pantainya.

Pantai berikutnya yang menurut saya sangat bagus dan sangat alami adalah, Pantai Pulau Kambing.
Nama pulau kambing bukan berarti di Pulau terpisah dari Pulau Natuna. Masih di dalam Pulau Natuna, tapi disebut Pulau, karena terdapat sebuah Pulau di Muara sungai tersebut, dan konon dipercaya ada "Penghuni"nya berwujud seekor kambing.

Akses menuju lokasi ini gampang-gampang susah, dari arah Desa Tanjung, masih lurus lagi sampai kurang lebih 20km menuju desa Pengadah. Jalannya pun adalah jalan tanah yang kadang bisa sangat licin jika hujan.


Tapi usaha perjalanan tersebut terbayar dengan pemandangan pasir putih yang membentang luas... Kosong... Seolah-olah ini adalah pantai pribadi kita...




Salah satu spot di Pulau Kambing, disini padang rumput dengan banyak muara dan rawa-rawa di tengahnya, serta gunung Ranai yang menjadi latar belakangnya.


Saya pribadi paling suka dengan gambar di bawah ini, sampai-sampai saya jadikan Wallpaper laptop saya.
Oiya, laut yang digambar tersebut sudah laut lepas menuju ke Laut Cina Selatan.


Jembatan di bawah adalah jembatan menuju Villa milik mantan Bupati Natuna. Bangunan yang anda lihat di sebrang itu merupakan Villa yang dimaksud.

Dan ini gambar-gambar lain yang saya foto di Pulau Kambing.


Dari semua kondisi lingkungan Natuna, saya sampai sekarang masih suka gambar di bawah.
Menurut saya ini kondisi yang paling absurd, mengapa jika tanah disampingnya di kerok sampai habis, tapi hanya disisakan satu pohon saja?
Lokasinya berada di samping Masjid Agung Natuna.


Saya sendiri tidak banyak mengunjungi lokasi lain. Karena saya lebih banyak standby di basecamp untuk mengkoordinir tim saya.
Namun berdasarkan cerita teman-teman tim saya yang sudah menjelajah hingga seluruh pelosok Natuna dan Pulau lain di Natuna, Pulau Natuna ini sungguh eksotis, namun sayang mereka tidak mendokumentasikannya (tentu saja, karena tujuan utamanya adalah bekerja).

Tak terasa sudah 1,5 bulan saya berada di Natuna. Akhirnya saya pun kembali lagi ke Jakarta.