Sunday 22 May 2011

Pernikahan Galih dan Santi ( II, Prosesi)

Yap. Akhirnya saya menikah juga…
Banyak komentar yang mengatakan pernikahan kami terlalu mendadak. Sebenarnya tidak bisa dibilang mendadak juga sih, untuk persiapan kami sudah kurang lebih 3 bulan sebelumnya.
Hanya 3 Bulan? Ya 3 bulan… Malah menurut saya itu terlalu lama, saya mengharapkan bisa lebih cepat lagi, namun ada hal-hal tertentu yang membuat persiapannya sedikit tergeser.

Proses lamarannya pun tidak seperti pasangan lain, dimana pihak keluarga pria datang berbondong-bondong ke kediaman keluarga perempuan untuk meminang anak perempuannya.
Proses lamaran saya sangatlah sederhana, hanya saya sendiri datang ke rumah orang tuanya di Blitar (waktu itu sekalian mampir dari lokasi proyek yang kebetulan tidak jauh). Pada waktu makan malam bersama di hadapan orang tuanya dan kakak-kakaknya saya pun mengutarakan maksud saya untuk menikahi Santi. Tidak ada tanggapan negative dari orang tua Santi, karena sebelumnya kami sudah saling mengenal baik. Setelah “lamaran” saya yang nekat itupun pihak orang tua Santi menanyakan kapan mau diadakan acaranya, saya meminta bulan April (yang mana hanya tinggal 1 bulan lagi), tentu saja permintaan saya cukup mengagetkan banyak pihak, karena dinilai terlalu cepat. Satu hal penting yang membuat permintaan tanggal tersebut terlalu cepat sehingga harus digeser adalah karena Kayu Bakar yang belum pada kering. Loh apa hubungannya? Nanti akan saya gambarkan di bawah.
Akhirnya setelah beberapa pertimbangan disepakati  tanggal 1 Mei 2011 sebagai tanggal pernikahan kami.

Kenapa sih terburu-buru sekali? Apakah sudah ngebet, atau jangan-jangan…?
Ooh tidak, jangan berburuk sangka dulu, saya berprinsip, “Apabila ada niat baik, sebaiknya segera dilaksanakan”. Bagi saya menikah, mempunyai niat yang sangat baik dan mulia, apabila tidak segera dilaksanakan saya khawatir banyak hal-hal yang tidak diinginkan akan menjadi penghalang. Dan rupanya memang benar, tidak beberapa lama setelah saya melamar, satu-persatu proyek datang, ya lumayanlah untuk ongkos berangkat ke Blitar dan juga sekaligus untuk tambahan biaya pernikahan.

Masih ada waktu 2 bulan untuk mempersiapkan pernikahan kami. Saya dan Santi bahu-membahu untuk mencari biaya nikah dan segala pernak-perniknya, sementara pihak keluarga Santi di Blitar mempersiapkan tempatnya. Tak terasa waktu berjalan cepat, dan akhirnya saya, kedua orang tua saya dan Santi berangkat ke Blitar. Sengaja kami berangkat 10 hari sebelumnya, karena juga untuk membantu mempersiapkan acara-acara.

H-4
Rumah sudah mulai ramai dengan orang-orang “rewang”. Rewang dalam bahasa Jawa artinya membantu, yang dimaksud rewang disini adalah para tetangga dan kerabat yang secara sukarela membantu acara, baik itu untuk masak, mengatur lokasi, menerima tamu dan seksi sibuk lainnya. Mereka secara bergiliran sukarela dan bergotong-royong bahu-membahu dari pagi hingga pagi keesokannya untuk mensukseskan acara pernikahan kami. Jika ditotal yang rewang untuk acara kami kurang lebih ada 180 keluarga. Walaupun tidak dalam bentuk uang, namun kami berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok para rewang selama mereka melakukan rewang. Kebutuhan pokok yang dimaksud adalah berupa makanan/sembako selama melakukan rewang.
Yang membuat saya terharu adalah mereka sangat tulus dan ikhlas melakukan rewang ini, bahkan sampai meninggalkan pekerjaannya untuk melakukan rewang.



Terlihat para ibu-ibu melakukan tugas masaknya di dapur, sementara para pria memotong kelapa di luar dan mempersiapkan kawah untuk jenangan. Yang dimaksud kawah untuk Jenangan disini adalah sebuah kuali besar dengan diameter kurang lebih 1,5m yang terintegrasi dengan kompor yang terbuat dari tanah liat. Untuk acara pernikahan kami disiapkan 2 kawah untuk Jenangan. Jenangan itu sendiri adalah Dodol. Dodol yang dibuat rasanya berbeda dengan dodol kebanyakan.






Dapat dilihat di gambar bahwa semua makanan dimasak dengan menggunakan tungku dan kayu bakar. Nah terjawab sudah di cerita awal kenapa tanggal pernikahan kami di geser karena menunggu kayu bakar kering.

Menurut kepercayaan penduduk sekitar, calon penganten dilarang untuk masuk ke dalam dapur apalagi terlibat dalam proses memasaknya. Namun larangan tersebut tidak terlalu saya perhatikan karena hal ini langka dan sekali seumur hidup saya alami.
Apalagi larangan bahwa calon pengantin dilarang untuk ikut mengaduk jenangan juga tidak saya perhatikan, saya iseng untuk mencoba gimana rasanya mengaduk adonan dodol tersebut, sangat berat rasanya, hanya beberapa kali adukan saya sudah menyerah. Sebenarnya calon pengantin dilarang untuk mengaduk, karena dikawatirkan dapat merusak adonan. Entah apa hubungannya, tapi percaya tidak percaya, tapi larangan tersebut ada benarnya juga, besoknya terdengar kabar bahwa terdapat 2kg dodol yang gagal alias gosong, dodol yang gagal berasal dari kawah yang saya aduk, saya pun curiga jangan-jangan yang gagal itu berasal dari adukan saya.

H-3
Tenda sudah terpasang beserta dekorasi dan pelaminannya. Tidak seperti di Jakarta dimana tenda dipasang mendadak, paling tidak sehari sebelumnya, disini tenda sudah di pasang jauh hari sebelumnya.
Setelah tenda selesai terpasang, tiba-tiba hujan badai melanda. Memang saat itu lagi musim hujan badai, hamper setiap hari hujan. Hal ini  membuat kami kawatir. Tapi sepertinya hal ini sudah diantisipasi oleh tokoh spiritual setempat.
Oleh beliau sudah disiapkan mantra khusus agar hujan dialihkan selama 3 hari, dan memang selama 3 hari acara kami tidak hujan sama sekali, setelah acara kami selesai barulah hujan turun kembali.





Pada hari ini dilakukan juga proses Ater-ater, yakni mengantarkan paket makanan yang juga sekaligus menjadi undangan kepada keluarga-keluarga yang tinggalnya jauh. Ater-aternya cukup jauh juga, sampai ke kabupaten tetangga, ya karena memang persebaran keluarganya memang sampai sana.

H-2
Hari pertama proses acara pernikahan, biasa disebut Manggulan (prosesi pra nikah). Namun pada acara kami, proses tersebut hanya nama belaka, karena kami tidak menjalankannya secara penuh. Kami hanya menerima tamu dan bersilaturahmi bersama tamu lainnya. Tamu yang datang berasal dari lingkungan sekitar dan kerabat dekat.
Sebelum acara manggulan dan sebelum kami boleh menerima tamu, paginya terlebih dahulu dilakukan acara kenduren. Yaitu memohon doa dan mengucap syukur kepada Allah SWT agar acara berlangsung sukses.
Makanan pada kendurenan tersebut dibagi rata kepada seluruh rewang dan tetangga-tetangga. Ayam yang dipotong pun ayam sembarangan, melainkan ayam kampong Jago yang sangat besar. Kami sebagai pengantinnya diwajibkan menghabiskan 1 porsi penuh nasi lengkap dengan lauknya dan 1 mangkok air cem-ceman (air rendaman kembang setaman). Entah apa maksudnya tapi ya dihabiskan sajalah, toh saya juga laper.





Setelah kendurenan baru kami mulai menerima tamu-tamu yang mulai berdatangan bahkan hingga malam hari.
Pada malam hari pun masih banyak tamu yang tetap tinggal dan bermain kartu bersama yang lain. Acara pernikahan kami juga menjadi wadah silaturahmi tetangga, kerabat dan keluarga yang mungkin sudah jarang ketemu.



H-1
Biasa disebut Becekan. Sama seperti kemarin, hanya sekedar nama belaka, yang utamanya kami tetap menerima dan bersilaturahmi dengan para tamu yang datang. Bedanya di hari ini tanpa ritual kenduren terlebih dahulu.
Saudara-saudara yang tinggalnya cukup jauh sudah pada mulai datang, mulai dari Solo, Jogja, Surabaya, Malang, hingga Banyuwangi.

Pada malam harinya (tepat tengah malam) ada acara “Nebus Kembar Mayang”, yaitu sebuah ritual yang menceritakan pihak keluarga pria datang meminta anak perempuannya untuk dinikahkan. Ritual dikemas dalam sebuah dialog jenaka dalam bahasa Jawa.


Kembar mayang diwujudkan dalam 4 buah rangkaian Janur kuning dan kembang setaman. Setelah proses nebus kembar mayang, maka kembar mayang tersebut di doakan. Tentunya doa disini dikemas dalam adat kejawen yang sangat kental. Mohon agar tidak mencampur adukkan dari sudut pandang agama manapun karena ritual ini merupakan murni kebudayaan, yang tentunya harus kita jaga dan lestarikan.

Hari H
Hari H pun datang, hari yang mendebarkan bagi kami. Meskipun sudah latihan di hadapan penghulu di kantor KUA beberapa hari sebelumnya, namun tetap saja tegang, apalagi dihadapan puluhan mata memandang dan sorotan lampu studio (yang menambah panas-tegang suasana).
Beruntung saya tidak salah ucap, meskipun agak sedikit terbata-bata karena terharu.
Dan yang ditunggu-tunggu pun tiba, sebuah kata: “SAH!” dari saksi dan penghulu.
Setelah penanda-tanganan buku nikah, barulah sang pengantin “dipajang” di pelaminan.



Tapi sebelum dipajang, ada sedikit ritual yang menggambarkan pertemuan pengantin dan kedua keluarga.


Bingung bagaimana wujud Kembar Mayang yang didoakan semalam? Jika anda lihat ada kedua gadis yang memanggul rangkaian janur kuning, nah itulah kembar mayang. 2 pasang kembar mayang harus dibawa oleh 2 pasang perjaka dan perawan (yang mungkin sudah susah di cari di kota besar).

Kami diarahkan oleh tokoh spiritual pada sebuah kain yang atasnya terdapat wadah perak berisi air kembang setaman dan telor, kendi berisikan air putih, dan 2 buah sapu lidi. Kami diharuskan untuk memutari diatas kain tersebut sebanyak 3 kali.



Setelah kami mengitari sebanyak 3 kali, pengantin wanita diharuskan untuk membasuh kaki sang pengantin pria dengan air kembang setaman tersebut masing-masing 3 kali dan memecahkan telur tersebut di dalam air kembang setaman tersebut.



Proses selanjutnya adalah Sinduran, pihak ibu dari pengantin wanita memberikan minum dari kendi kepada kedua pengantin, dengan maksud bahwa sang ibu sudah memberikan restu kepada kedua mempelai, selanjutnya ibu pengantin wanita menyelimuti dengan kain (yang dinamakan kain sindur) dari belakang kedua pengantin dan ayah dari pengantin wanita menuntun di depan, untuk diantarkan ke pelaminan.




Setelah sampai pelaminan, proses berikutnya dinamakan Nimbang/Pangkon, dimana bapak pengantin wanita duduk di tengah bangku pelaminan melambangkan sikap kekeluargaan bahwa seorang menantu harus diperlakukan sama dengan anak kandungnya.


Selanjutnya adalah proses Gunokoyo atau Kacar-kucur, dimana pengantin pria menuangkan kain yang berisi beras ke pangkuan pengantin wanita lalu kemudian diserahkan ke ibu pengantin wanita, melambangkan suami memberikan nafkah kepada istrinya.




Setelah itu prosesnya adalah Dhahar Kembul atau Dhahar Klimah dimana kedua pengantin saling menyuapi melambangkan bahwa kedua akan mempergunakan dan menikmati bersama apa yang mereka miliki.


Setelah suap-suapan tersebut proses berikutnya adalah Mertui atau Mapag Besan, kedua orang tua pengantin wanita menjemput kedua orang tua pengantin pria di depan rumah dan mempersilahkan mereka masuk ke tempat upacara. Selanjutnya mereka berjalan bersama menuju tempat upacara, ibu-ibu berjalan di depan, bapak-bapak mengiringi di belakang.


Proses terakhir adalah Sungkeman, sepasang pengantin melakukan sungkem kepada kedua belah orang tua. Pertama kepada orang tua pengantin wanita lalu dilanjutkan kepada orang tua pengantin pria. Sungkem adalah bentuk penghormatan tulus kepada orang tua.


Setelah semua proses tersebut dilaksanakan, proses selanjutnya adalah foto-foto bersama tamu. Cukup melelahkan juga, mengingat cukup banyak tamu yang datang.

Pernikahan Galih dan Santi ( I, Pendahulan)

Yap, akhirnya setelah hampir 4 tahun kami pacaran, akhirnya kami menikah juga pada tanggal 1 Mei 2011 yang lalu di Blitar, Jawa Timur.

Sebelum saya menceritakan bagaimana acara pernikahan kami berlangsung ada baiknya saya menceritakan sejarah pertemuan saya dengan Santi.

Saya mengenal Santi sekitar pertengahan tahun 2007, pada waktu itu kami berdua aktif dalam kegiatan Bike To Work. Baik saya maupun Santi sama-sama senang bersepeda. Pada waktu itu Santi masih bekerja di salah satu perusahaan operator selular dan saya masih menjadi karyawan magang di salah law firm, maklum statusnya masih mahasiswa.

Oleh karena sering berkomunikasi dan bersepeda bareng, akhirnya pada tanggal 2 September 2007 kami memutuskan untuk berpacaran.

Sama halnya dengan pasangan lain dimana mengalami pasang-surut hubungan, kami pun juga mengalami hal yang sama. Tawa, canda, duka sudah menjadi hal yang biasa.
Namun kami tetap berusaha agar hubungan kami tetap berjalan dan kami juga berusaha agar kami tidak seperti pasangan-pasangan muda lainnya.
Kami memilih menggunakan “bahasa Isyarat” yang kami ciptakan sendiri baik untuk komunikasi ataupun untuk “panggilan sayang”. Agar tidak membosankan, tentu “bahasa Isyarat” tersebut harus sering diperbarui, meski kadang kami juga tidak paham artinya.

Tidak seperti kebanyakan pasangan muda lainnya yang sering bersenang-senang menghabiskan waktu di mall, café ataupun tempat hiburan lainnya, kami justru jarang menghabiskan waktu di tempat-tempat tersebut. Kami justru banyak menghabiskan waktu di trek sepeda. Terutama apabila ada turnamen sepeda, Santi dengan setia menemani saya. Menurutnya, Santi sangat bangga dengan saya, meskipun saya tidak pernah juara sedikitpun.
Selain, menghabiskan waktu di trek sepeda kami juga sering menghabiskan waktu sebagai pedagang keliling, sudah banyak barang-barang yang kami jajakan bersama, mulai dari spare part sepeda, pakaian, sepatu, hingga handphone.

Tak terasa lebih dari 3 tahun kami bersama, melewati masa-masa susah-senang, sedih-bahagia, hingga pada akhirnya pada awal tahun 2011 saya bilang ke Santi “Nikah Yok!!”