Sunday 25 September 2011

Surly Steamroller

Surly Steamroller ini sebetulnya bukan sepeda saya, tapi sepeda istri saya. Karena entah kenapa dia lebih suka single speed daripada multispeed. Gayung bersambut, seorang kawan menawarkan kami sebuah frameset Surly Steamroller dengan ukuran kecil.


Secara spesifikasi, berikut adalah sedikit kutipan dari website Bali Mountainbike selaku distributor resmi Surly di Indonesia:


Listen to veteran fixed gear riders long enough and they’ll start to wax philosophic about fixies, how the bike is an extension of one’s body, how the simplicity and the silence are pleasing to the senses, how riding one is at first unnerving and later addictive. As we have said since we introduced the Steamroller frameset, we won’t try to convince you that riding ‘fixed’ is better or special or why you should try it. You’ll have to determine that for yourself. But whether you’re old school or new hat, you’d be hard pressed to find a better canvas to build your ideal street machine.


It’s made from Surly 4130 CroMoly steel because steel is durable and responsive, things we like and we’re pretty sure you do too. Its geometry is tight compared to road frames and relaxed compared to twitchy track frames. It takes big tires because big tires make sensetire casings flex before the frame. It’s got almost no ‘features’, no pump peg, no housing stops, no cell phone or GPS mount. Just a set of water bottle braze-ons. Well, it does also have a nice brazed fork crown we think looks pretty snazzy. If you’re like us, you may consider less tangible elements (such as ride quality) to be features, and it’s got these in spades. This is a frame meant for riding. Everyday. It was designed by cyclists for cyclists. It’s most at home on the street, but it’s also track legal and does a pretty fair job on trails too. It’s a fixed gear frame in the tradition of fixed gears, before there were freewheels or handbrakes (effective ones, anyway), harkening back to a time when big tires weren’t a design feature but a necessity, when a ride was an adventure


But hey, don’t let us convince you. Try one out. It may just become your favorite bike.
  • Tubing: 100% CroMoly steel. Main triangle is double-butted. TIG-welded
  • Rear dropouts: Investment cast Surly track dropouts, 120mm spaced
  • Brake compatibility: Standard reach post-mount road calipers, but there are no stops for housing
  • Braze-ons: None, baby. Pure. OK, we put one set of water-bottle mounts on the seat tube ’cause we’re not camels
  • Seatpost diameter: 27.2mm
  • Seatpost clamp: 30.0mm Surly stainless, included
  • Headset: 1–1/8" threadless
  • Bottom bracket shell:  68mm wide, threaded English 1.37" x 24t
  • Tire clearance: Room for tires up to 700 x 38mm. Individual tire and rim combos affect tire clearance, but figure on being able to use tires up to 32mm with fenders (p.s.- use clip-on fenders)
  • Chainring clearance: Heavy manipulation of the chainstays gives room for a 50t ring while maintaining chainline. Track crank-compatible.
  • Colors: Grey-Green or Black
  • Weight: 56cm = 2000g (4.5 lbs) Fork - uncut = 850g (1.9 lbs)

Surly Steamroller ini banyak mendapat review positif di berbagai media, beberapa diantaranya adalah Bike RadarJohn Prolly, bahkan mendapat point 4,43 dari 5 di Roadbike Review, dan juga di Sheldon Brown.

Hampir setahun Surly ini berada di tangan kami. Secara umum banyak yang salah paham bahwa Steamroller ini adalah frame track (Track Bike) hanya serta karena drop out belakangnya Track End. Bukan, Steamroller tidak memposisikan sebagai frame track (untuk balap di velodrome), tapi lebih kepada frame urban atau frame commuter yang cukup solid dan nyaman, dibuktikan dengan clearance ban pada fork dan rear triangle yang cukup besar (hingga 700c x 38).
Set-up steamroller saya adalah sebagai berikut:

  • Frame: Surly Steamroller size 49 (S) 4130 Double butted chromo w/ Headset Ritcheycomp + Fork Surly.
  • Wheelset: Rigida DP 2000 rim w/ Novatec Hub (fixed 17t, freewheel 18t) rear, Shimano Tiagra front
  • Tire: Kenda Hybrid 700c x 38
  • Crankset: Shimano Exage 46t + Shimano UN25 BB
  • Chain: United
  • Pedal: wellgo + toeclip
  • Seatpost, Stem, Handlebar: United
  • Saddle: Specialized Evolution (made by Selle Italy)
  • Brake: Tektro R350 + BMX lever
Sengaja saya maksimalkan pemakaian ban hingga batas maksimum clearance ban karena frame ini akan saya jadikan sepeda commuting yang (harus) nyaman. Dengan ban cukup besar saya jadi cukup percaya diri untuk melalui lubang-lubang aspal (aspal Jakarta tidak selamanya mulus), dan lagipula tidak harus memompa sampai 100psi (sebagaimana ban-ban kurus lainnya) cukup sampai 60-80psi.

Sepeda ini beberapa kali saya gunakan untuk century ride dan sangat nyaman dipakai, karena ya itu tadi memang diciptakan sebagai frame commuting, bukan frame kompetisi.

Friday 23 September 2011

Gelar pendidikan tidak menjamin kesuksesan karir...

Kenapa tiba-tiba tulisannya berbau kayak motivator? Eits, sebentar dulu... (Jujur saya paling eneg sama motivator atau mereka yang cuma bisa menjual harapan-harapan manis dari mulutnya...)
Ini sama sekali ga ada hubungannya dengan motiv(b)asi... Ini cuma sekedar cerita berbagi pengalaman sukses (walaupun saya tau, menurut dia pasti dia belum mencapai sukses, tapi saya memandang dia cukup sukses apabila menilik dari sejarahnya)....

Cerita ini adalah cerita tentang kakak ipar saya...
Sore ini ketika saya berkunjung ke rumahnya, tiba-tiba handphonenya bunyi. Berhubung posisinya sedang makan, maka dia pun mengaktifkan loudspeaker handphone... Rupanya si penelpon adalah telemarketer kartu kredit yang sedang menawarkan promo produk, karena tertarik dengan promonya maka akhirnya dia pun menanggapi penawaran-penawaran si telemarketer tersebut sampai pada akhirnya si telemarketer tersebut meminta data-data diri kakak ipar saya... Kurang lebih seperti ini percakapannya:
...
Telemarketer (TM): "ada alamat email pak, nanti form akan kami kirim via email?"
Kakak Ipar (KI): "oooh ada... bla-bla-bla-bla@bla-bla-bla.com" (untuk kepentingan bersama, alamat email sengaja saya samarkan"
TM: "baik pak, bapak sekarang bekerja di perusahaan apa?"
KI: "di PT bla-bla-bla tersebut..."
TM: "sudah berapa lama pak bekerja di PT tersebut?"
KI: "sekitar 2-3 tahunan ya..."
TM: "sebagai apa pak?"
KI: "direktur..." (sengaja dijawab singkat-singkat karena sambil mengunyah makanan)
TM: "oooh baik.... perusahaannya bergerak di bidang apa pak?"
KI: "kontraktor"
TM: "omzet pertahunnya berapa pak kalo boleh tau?"
KI: "eeeerrrr... kemarin sih 10M ya..."
TM: "ooh baik... pendidikan terakhir bapak apa pak?"
KI: "SMP..."
..... (sempat agak hening sebentar sampai akhirnya sang telemarketer melanjutkan pembicaraannya...)...

Ya memang kakak ipar saya hanya lulusan SMP, sampai kini tidak bisa berkomputer, tidak bisa bicara bahasa inggris, namun menjadi direktur atas perusahaan yang dibuatnya sendiri dengan modalnya sendiri.
(bandingkan dengan kebanyakan anak-anak generasi masa kini yang high tech, fasih berbahasa inggris, bahkan lebih fasih bahasa asing daripada bahasa Indonesia, namun hanya omong kosong belaka, tidak banyak yang punya kontribusi berarti bahkan cenderung konsumtif)
Usianya pun bisa dibilang relatif mudah, pertengahan 30an, mempunyai seorang istri, seorang anak yang lucu dan penurut, punya sebuah mobil sederhana, rumah mungil di salah satu cluster di Tangerang, punya sebidang kebun jati di kampung halaman, sebidang tanah di pinggiran ibu kota (dan aset-aset yang tidak diketahui lainnya). Namun semua hal-hal tersebut tidak serta membuat dia sombong. Penampilannya pun biasa saja. Istrinya pun juga biasa saja (mungkin tidak seperti ibu-ibu lain yang bersuami kaya yang lantas suka bersolek dan bersosialita) pekerjaanya tetap memasak masakan untuk bekal suami kalau beraktivitas dan mengurus anak yang energinya luar biasa. Tetap menjadi sebuah keluarga yang sederhana....
Bahkan ketika tadi siang saya ikut meeting tender dengan kakak ipar saya, di sela-sela meeting dia sempat ngobrol ringan dengan rekannya... Yaitu adu murah-murahan baju... Rp. 40.000 vs Rp. 25.000...

Namun dibalik semua itu terdapat sebuah perjalanan panjang yang penuh cobaan... Dia pernah cerita ke saya bahwa waktu sekolah SMP dulu, dia pernah jadi kuli aspal untuk tambahan uang sekolah dan biaya adik-adiknya. Perjalanan untuk menjadi kuli aspal pun juga tidak mudah, dia harus menaiki sepeda Onthelnya ke lokasi proyek yang berjarak sekitar 20km dari rumahnya (dan lokasi rumah tersebut penuh dengan tanjakan).

Selepas SMP dia langsung hijrah ke Jakarta, bekerja untuk mencari tambahan uang untuk orang tua dan adik-adiknya yang masih sekolah. Pekerjaan pertama di Jakarta adalah menjadi pembantu di seorang pengusaha kaya. Salah satu tugasnya adalah memandikan dan memberi makan anjing-anjing dan monyet peliharaannya...
Lalu pernah juga menjadi sales obat ikan dan keripik. Juga pernah menjadi penjual ayam goreng. Sampai pada akhirnya dia memiliki cukup modal untuk membeli lapak di pinggir jalan untuk berjualan tanaman. Dari tanaman inilah dia mulai belajar bagaimana berbisnis dalam skala lebih besar, menjadi supplier untuk perusahaan lain. Sampai akhirnya cukup modal untuk membuat sebuah PT.
Setelah PT berdiri pun juga tidak serta mudah, cobaan demi cobaan dari ditipu klien hingga ditipu pegawai sendiri juga pernah dialaminya. Namun semua hal itu tidak membuatnya putus asa, malah kebalikannya proyek demi proyek berdatangan...

Jika anda melihat langsung sosoknya yang sederhana, mungkin anda sendiri tidak percaya kalau ternyata orang yang anda lihat tersebut merupakan seorang pengusaha dengan omzet puluhan milyar.
Orang seperti kakak ipar saya tidak sendiri, saya mengenal satu lagi seorang pengusaha telur kaya raya di kampung halaman istri saya.
Pada mulanya dia hanyalah seorang kuli peternak telur, dengan pekerjaan sehari-hari selain mengangkut hasil panen juga membersihkan kotoran ayam. Rumahnya pun hanya terbuat dari bilik (gedheg). Sampai akhirnya karena karena kerajinannya, bosnya memberikan modal 300 ekor ayam untuk dikelola sendiri. Perlahan ayam-ayam tersebut dikelola, sampai pada akhirnya kini ayamnya sudah mencapai jutaan ekor tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Rumahnya besar-besar dan ada beberapa (bayangkan dengan ukuran setara rumah di wilayah Pondok Indah), truknya pun puluhan... Namun hal itu tidak serta merta membuatnya sombong. Pada saat pernikahan kami beberapa bulan lalu, dia terlihat menjadi rewang tamu, yaitu orang yang bertugas melayani dan menjamu tamu yang hadir, mulai dari mempersilahkan duduk, hingga mengambilkan hidangan makan. Padahal kalau dipikir-pikir dia itu termasuk salah satu orang terkaya di kabupaten dan juga mantan bosnya istri saya, tapi masih mau untuk melakukan hal-hal seperti itu...

Cerita saya diatas bukan bermaksud untuk menyepelekan pendidikan dan (hanya) bergantung pada kerja keras dan nasib... Sama sekali bukan itu...
Bagaimanapun juga pendidikan itu penting, penting untuk wawasan ilmu dan wawasan umum lainnya.
Tapi yang membuat saya tidak setuju adalah orang yang membudak dirikan pada gelar, bahkan ada yang dibela-belain sampai beli gelar, menyewa joki dan hal-hal curang lainnya....

Pertanyaannya adalah.... Untuk Apa?