Saturday 12 May 2012

Perjalanan Timika (II)


Akhirnya dapat juga pekerjaan di Timika, setelah sebelumnya (Perjalanan ke Timika I), hanya survey ke lokasi. Kali ini, saya memaksakan diri untuk membawa sepeda di perjalanan ini. Tujuan awalnya adalah untuk transportasi ke tempat perekonomian dan tempat logistik terdekat. Karena pada waktu survey kemarin jaraknya masih sanggup untuk ditempuh dengan sepeda. Selain itu agar ada yang diceritakan di blog ini, yaitu pengalaman bersepeda di Timika.

Awalnya saya ingin bawa roadbike saya ke Timika, namun terhalang kendala roda belakang tidak bisa lepas dari RD hangernya. Sepertinya Locknut Freehub tersangkut di RD Hanger (aneh juga, padahal ini baru beli langsung dari Pabrik Polygon di Surabaya dan dicocokkan dengan type sepedanya). Akhirnya diputuskan untuk membawa Surly, yang sebelumnya saya set ke fixed gear terlebih dahulu. Ada untungnya juga bawa Surly, jadi tidak ribet waktu membongkar dan packing ke dalam dus untuk dimasukkan ke dalam bagasi pesawat.

Setibanya di lokasi, langsung beres-beres barang dan merakit kembali sepeda. Ternyata ada lagi kendala, sekarang seatpostnya macet di posisi paling rendah (selama ini memang dipakai istri di posisi paling rendah dan sudah lama tidak dinaik-turunkan). Berbagai cara sudah dicoba, mulai dari system getok, hingga kepala seatpost diputar pakai kunci inggris namun tetap gagal.
Sempat frustasi karena tak kunjung berhasil (sebab tujuan utama saya bawa sepeda adalah untuk ke lokasi lokasi logistik terdekat). Beruntung ada penjaga camp yang berbaik hati meminjamkan sepeda motornya, sehingga urusan penyediaan logistik masih bias teratasi.

Yang mengejutkan di sini adalah harga bensin (premium dan solar). Disaat pemuda ibukota demo kenaikan harga BBM, di sini saya dan penduduk setempat harus beli bensin (eceran), seharga Rp. 20.000 per botol air mineral 1,5 liter. Jika ingin harga normal silakan saja antri di SPBU Pertamina hingga sore bahkan bisa sampai besok. Ketika saya iseng motret kondisi antrian di SPBU, saya sempat ngobrol dengan salah satu supir angkot (disana sebutannya Taxi) yang sedang mengantri.
“Kondisi sekarang memang minyak (bensin) sedang susah, pasokan terhambat di Ambon yang sedang cuaca buruk. Kami nyupir buat cari makan, jadi mau tak mau harus mengantri di SPBU, walaupun baru bisa dapat nanti malam. Kalau beli di eceran kami tidak dapat apa-apa”, kata supir tersebut. Dia juga menambahkan bahwa di Timika sendiri hanya terdapat 3 Pom Bensin.



Nah, yang menjengkelkan  ketika keesokan harinya saya mau beli bensin untuk motor pinjaman (tidak enak kalau hanya pinjam tapi tidak membelikan bensin), saya dibuat kaget dengan harga bensin yang langsung melonjak jadi Rp. 30.000 per botol air mineral 1,5 liter. Padahal baru kemarin harganya Rp. 20.000. Naik 50% dalam kurun waktu kurang dari 24 jam!!

Awal-awal di sini saya cukup kaget denga harga yang ada. Gas Elpiji 12kg misalnya, harganya Rp.210.000 dan ya bensin itu tadi. Saya tidak bisa berlama-lama dengan kondisi ini, jika saya tetap bergantung kepada sepeda motor bisa-bisa saya tekor harus membelikan bensin eceran dengan harga segitu, sedangkan meluangkan waktu seharian untuk mengantri bensin juga tidak mungkin, bisa-bisa pekerjaan saya terbengkalai. Akhirnya saya memaksakan diri untuk mencari WD40 dan kunci pipa ukuran besar ke toko matrial dengan kondisi seatpost rendah. Dengan dibantu oleh seorang tenaga tukang akhirnya permasalahan seatpost dapat teratasi. Sepanjang perjalanan dari material ke camp saya melihat beberapa pemandangan. Pertama menyedihkan, banyak pengedara motor yang kehabisan  bensin mendorong motornya mencari pengecer yang sudah banyak kehabisan persediaan bensin juga. Kedua agak lucu, banyak pelajar SMP (bahkan siswinya) pulang sekolah dengan membawa parang besar, mungkin karena rute perjalanan mereka banyak melewati semak belukar yang memang tinggi-tinggi.

Sudah empat hari saya berada di Timika, dengan permasalahan sepeda yang sudah teratasi, akhirnya saya mencoba sepedahan ke Kota Timika. Jarak dari camp kami ke kota tidak terlalu jauh, saya tidak tahu pasti berapa jaraknya tapi yang jelas memakan waktu kurang dari sejam dengan kecepatan normal bersepeda. Terus mengayuh sampai akhirnya ke ujung airport. Agak sedikit heran, padahal banyak ditemukan toko dan bengkel sepeda tapi kok saya jarang melihat orang bersepeda di sini. Tapi yang patut diacungi jempol adalah, tingkat disiplin berlalu lintasnya yang sangat tinggi. Tidak ada pengemudi motor/mobil yang menyerobot lampu merah walaupun tidak ada polisi, semua tertib berhenti tepat di belakang lampu merah yang bahkan tidak ada garis stop. Begitu juga dengan kecepatan kendaraan, meskipun aspal jalanan dominan hotmix super mulus, tidak ditemukan pengemudi yang mengendarai kendaraannya dengan kebut-kebutan dan ugal-ugalan. Semua berjalan tertib dan normal.
Selesai bersepeda ke kota, saya harus kembali pulang ke camp untuk melanjutkan pekerjaan. Tapi sebelumnya saya menyempatkan diri ke Kuala Kencana, gerbang masuk FreePort yang tidak jauh dari camp. Tapi saya tidak masuk ke dalamnya, karena harus melewati gerbang pos dengan tingkat keamanan yang ketat.





Hari kelima saya ada di Timika, saya pun iseng mau mencoba gowes ke arah pelabuhan. Sialnya siang hari hujan deras (padahal paginya cerah dan panas). Hujan baru reda sekitar jam duaan. Kesorean untuk memulai gowes sebenarnya, mengingat untuk gowes ke pusat Kota Timika memakan waktu kurang lebih 45 menit. Tapi ya sudah, kepalang tanggung, lanjutkan saja. Untuk ke arah pelabuhan saya harus melewati pusat kota Timika, cukup ramai memang, dengan aktivitas perdagangan dan usaha, pangkalan becak dan angkot. Berbekal nekat, saya nanya ke orang yang sedang lewat arah ke pelabuhan, sambil menunjukkan arah dia bilang masih jauh katanya. Cukup sepadan untuk dicoba. Saya tidak tahu sudah berapa kilometer sudah saya tempuh, tapi yang jelas sudah cukup lama, lebih dari satu jam yang jelas. Kualitas jalan ke arah pelabuhan sedikit berbeda dengan kualitas jalan ke arah Kuala Kencana. Apabila ke arah Kuala Kencana jalannya begitu halus dan mulus, jalan menuju pelabuhan terasa sedikit rendah kualitasnya. Memang aspalnya mulus, tapi terkadang masih ada ditemui jalanan yang tidak rata dan berlubang, terlihat memang di sini kepentingan siapa yang berbicara. Sepanjang perjalanan masih banyak ditemui rumah-rumah sederhana yang terbuat dari papan kayu dan tanpa akses listrik, padahal sudah dilalui kabel PLN.








Hari sudah semakin sore tapi Pelabuhan tak kunjung terlihat, tapi saya yakin ini memang jalannya, sebab sepanjang jalan saya menemui orang berjalan dengan membawa ikan besar dan banyak rumah-rumah menaruh mesin perahu temple di teras rumahnya. Pasti tidak jauh lagi, dalam hati…
Tapi karena tak kunjung tiba, akhirnya saya bertanya kepada pengendara motor yang sedang lewat. Sambil setengah tertawa meledek, dia bilang masih sangat jauuuuh. Baiklah, hari sudah semakin sore, pulang ke camp dengan kondisi jalanan gelap itu tidak bijaksana. Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk putar arah dan kembali ke camp.

Hari-hari di Timika saya lalui, tak terasa saya sudah hampir satu bulan di sini. Selama masa ini, saya sempat terkena malaria. Awalnya hanya bersin-bersin karena pilek, tapi di malam pertama kok demam? Rasa demamnya sungguh tidak nyaman, hampir sama seperti demam lainnya, tapi menyerangnya di malam hari (mirip seperti gejala demam berdarah) dan ditambah rasa ngilu di daerah paha belakang hingga betis. Oleh karena demam tak kunjung hilang selama 3 malam, akhirnya saya menghubungi teman saya untuk minta diantar ke klinik untuk mendapatkan perawatan. Saya diberi suntikan dan obat anti malaria untuk diminum selama beberapa hari. Oleh karena di klinik, biaya pengobatan cenderung mahal. Hari-hari pertama mengkonsumsi obat malaria ini rasanya sungguh tidak nyaman, rasa mual yang hebat dan yang lebih tidak enak lagi adalah gangguan tidur. Pada hari pertama saya minum obat anti malaria ini, malamnya saya sama sekali tidak bisa tidur. Mata dipejamkan sampai bagaimanapun juga tetap tidak bisa tidur sampai pagi. Anehnya, di pagi hari badan sama sekali tidak terasa capek karena malamnya tidak tidur (tidak seperti kondisi badan habis bergadang yang biasanya badan menjadi lesu). Wah tidak beres ini, siangnya saya harus memaksakan untuk tidur walaupun sebentar. Untungnya kondisi tidak nyaman ini hanya berlangsung sehari saja, malam hari setelahnya saya bisa tidur dengan normal.

Malaria memang menjadi masih menjadi momok di sini, apabila ada orang terkena demam, kecurigaan pertama langsung malaria. Benar saja, salah satu tim saya gentian kena malaria. Awalnya dia demam disertai mual-mual dan nyeri di sendi. Langsung kami bawa ke Puskesmas (konon katanya murah) untuk di cek darahnya dan diberi pertolongan pertama. Benar saja, ternyata salah seorang tim saya kena Malaria Tropika. Oleh Puskesmas diberi beberapa obat. Hebatnya, biaya pengobatan Puskesmas di sini adalah GRATIS. Walaupun daerah endemic, namun untuk akses kesehatan terutama bagi warga kurang mampu pelayanannya cukup baik.

Setelah saya ngobrol-ngobrol dengan kawan saya yang asli sini, di seluruh Papua khusus untuk Malaria biaya pengobatan untuk di Puskesmas dan RSUD memang digratiskan, karena memang sudah menjadi program pemerintah daerah setempat.

Hari demi hari berlalu, saya tak lagi sempat menulis catatan perjalanan (yang akan saya gunakan untuk menulis blog ini), dikarenakan kondisi pekerjaan yang mengharuskan cepat selesai. Saya juga tidak mau berlama-lama di sini, mengingat malaria sudah menjangkiti saya dan salah seorang anak buah saya, saya tidak mau malaria juga menjangkiti anak buah saya yang lain.

Hari-hari terakhir saya di Timika sudah semakin dekat, pekerjaan sudah selesai, tiket pulang sudah di tangan, tinggal bersiap-siap. Sehari sebelum pulang, saya mensempatkan diri ke kota Timika untuk makan siang dengan meminjam motor penjaga camp. Saya melewati pom bensin, kok sudah tidak ada antrian lagi? Akhirnya saya mampir untuk mengisi bensin. Menurut kabar, sang penimbun (penyebab semua kekacauan dan tersendatnya pasokan bensin) sudah tertangkap. Malamnya, badan saya berasa tidak enak lagi, sendi-sendi paha sudah mulai berasa ngilu lagi. Gejala yang sama saya rasakan ketika malaria waktu itu. Dalam hati saya berfikir, masa kumat lagi?
Perjalanan Timika - Makasar - Jakarta serasa perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, karena saya harus melawan rasa pusing dan demam sepanjang perjalanan. Sesampainya di rumah, karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya saya pun ke Rumah Sakit untuk diberi pengobatan. Untungnya setelah melalui pemeriksaan laboratorium, dinyatakan negatif malaria, tapi malah terdeteksi typus.
Melegakan, setidaknya typus masih umum dan dapat ditangani oleh tenaga medis kota besar.
Lain halnya jika malaria, mengingat kota besar seperti JABODETABEK sudah terbebas malaria, maka tidak banyak tenaga medis yang paham bagaimana menangani penyakit tersebut. 
Benar saja, sebab di rumah sakit tempat saya periksa selain tidak punya obatnya, pegawai customer servicenya bilang bahwa Malaria itu sama dengan DBD. Sepertinya itu pegawai harus mengundurkan diri dulu dan kembali ke sekolah yang benar sebelum terjun ke dunia kerja agar tidak menyesatkan orang lain, apalagi di rumah sakit yang berkaitan dengan kesehatan bahkan nyawa sesorang.

Dan saya pun disarankan oleh dokter untuk bedrest, bahkan ketika tulisan ini dipublikasi saya masih dalam kondisi bedrest...

Membosankan...

3 comments:

  1. cukup menarik ..
    sy jg anak timika, sudah 19 tahun malah disini :D asli bugis.
    sayang anda tidak sempat masuk ke kuala lg , padahal tempat itu sangat bagus menurut saya.

    soal cerita malaria,, itu memang kata sambutan dari timika. siapa yang baru datang pasti kena :D

    yang cukup lucu,, perjalanan anda dari kota ke pelabuhan,, sangat mustahil saya rasa. saya saja ke pelabuhan makan waktu 1 jam lebih dengan kecepatan 100km/jam. jaraknya 80 kilo dari timika.. dan di foto itu klo tidak salah mmg masih jauh dari pelabuhan. itu daerah kilo 8

    ReplyDelete
  2. Halo Mas Bahtiar, terima kasih sudah menyempatkan mampir dan baca blog saya..

    Wah, sudah cukup lama ya.. ketika saya di sana saya punya langganan laundry kiloan juga asli Bugis, sepertinya cukup banyak ya orang Bugis di Timika..
    Sebenarnya saya sudah beberapa kali masuk Kuala Kencana (bareng dengan orang freeport tentunya) tapi di dalam tidak foto-foto, hehehhe...

    Ya memang, malaria sangat tidak menyenangkan (sakit memang tidak menyenangkan, tapi ini lebih tidak menyenangkan dari sakit lain yang pernah saya alami).. sekarang ini saya merasa jauh lebih baik daripada waktu ketika baru datang dari Timika. Semoga tidak kumat lagi, hehehe..

    Hahahaha, saya sebenarnya diketawain sama orang yang lagi naik motor ketika saya nanya jalan ke arah pelabuhan, masih terlalu jauh katanya. Akhirnya putar arah pulang..

    Salam

    ReplyDelete
  3. hha iya mmg lama, krna saya sendiri juga lahir disini :) sekarang kuliah di makssar.

    iya mas memang orang bugis,makassar,toraja (sulawei), di timika sangat banyak. tapi tidak kalah banyak sih dengan orang jawa. lokasi SP-nya saja sampai 12 yang mana maayoritasnya penduduk dari jawa. herannya di Timka penduduk asli papua tidak sampai 50% dari total penduduk di timika. Tiap tahun makin banyak pendatang. Mungkin karena ada freeport kali ya makanya banyak yang merantau kesini.. ditambah prospek bikin usaha disini jg masih menggiurkan. pesaing mash sedikit :D

    soal malaria sudah sering saya kena, memang menderita. apalagi malaria tropika ++++ :D Konon kata dokter, malaria papua bukan karena nyamuk tapi karena iklimnya yang extrem.. klo panas, panas skali, klo dingin, dingin skali. paginya panas, tiba-tiba malamna dingin.. memang cuacanya aneh.

    hhaa tidak terbayangkan klo misalnya mas tidak balik arah. sangat gelap tidak ada lampu didaerah sana. seandainya sampai ke pelabuhan, berarrti rekor baru tuh . orang pertama yang Ke pelabuhan dengan sepeda hhe

    kapan-kapan kalau kesini selain ke kuala kencana sempatkan juga ke tembagapura (area perumahan freeport khusus staf) . coba deh seeach di google banyak fotonya. sekalian klo bisa pergi ke puncak cartenz biar bisa dapat salju abadinya :D

    akhir kata,, senang bisa membaca artikel blog ini. sebuah sudut pandang dari orang yang baru masuk ke Timika.

    salam

    ReplyDelete