Saturday 23 June 2012

Kereta Api VS Bis AKAP

Di sini saya tidak akan membandingkan langsung antara Kereta Api dan Bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi). Karena ya memang sudah tidak sebanding, baik dari bentuk, spesifikasi dan lain sebagainya.
Tapi saya akan membandingkan pengalaman naik Kereta Api versus naik Bis AKAP.

Dari sekian banyak moda transportasi antar propinsi (di Jawa), mulai dari Pesawat, nyetir mobil pribadi, Bis Malam, Kereta Api, hingga mungkin Kapal Laut (siapa yang mau naik Kapal Laut dari Jakarta ke Surabaya?). Saya lebih suka naik Kereta Api. Terutama Kereta Api keberangkatan Pagi atau Siang. Bukan apa-apa, sejak kecil hingga sekarang saya selalu suka melihat pemandangan dari jendela gerbong Kereta, bahkan saya selalu minta supaya dapat bangku sisi jendela. Selain supaya bisa melihat pemandangan dengan leluasa, juga bisa buat nyenderin kepala untuk tidur.

Pemandangan di atas (diambil dari mbah Google), merupakan pengalaman yang asyik yang tidak bisa ditemui oleh moda transportasi lain (apalagi pesawat). Karena memang jalur kereta lebih banyak melewati kawasan pedesaan yang penuh dengan sawah dan kebun dengan latar belakang gunung menjulang.

Gambaran tersebut seolah-olah membuat bayangan tentang Negri yang kaya akan SDA dan ketahanan pangan yang kuat, karena sepanjang mata memandang dipenuhi oleh sawah dan perkebunan sayuran.

Namun bayangan tersebut bisa langsung sirna ketika saya  naik Bis AKAP. Bis AKAP yang dominan melalui jalan utama propinsi, sering saya temui beberapa hektar lahan sawah atau perkebunan di sulap menjadi Pabrik, Ruko, Restoran, Pom Bensin, Waterboom (yang saat ini sedang musim di bangun di daerah-daerah), bahkan perumahan minimalis model cluster. Nah yang terakhir ini agak sedikit aneh sebenarnya, memaksakan membangun perumahan minimalis model cluster dengan type 36-45 di tengah sawah di pedesaan. Okelah kalau di Ibukota perumahan minimalis model cluster dengan type 70 ke bawah cukup laku, karena selain sudah tidak ada lagi lahan untuk dibangun, kebutuhan akan hunian cukup tinggi walaupun kecil. Tapi jika di pedesaan, terkesan sangat memaksakan untuk mengikuti apa yang sedang tren di Ibukota.

Hal tersebut membuat saya berpikir, kalau banyak lahan sawah dan kebun dihabiskan untuk hal-hal di atas, belum lagi masalah ketidaan regenerasi (karena dari sekian banyak yang saya lihat, para petani dan pekerja pengolah hasil pertanian usianya sudah pada di atas Bapak saya)... Nanti anak-cucu kita mau makan apa? Impor?

Salam

No comments:

Post a Comment