Monday 5 May 2014

Bersepeda Di Pulau Belitung

Setelah sekian lama tidak melakukan perjalanan ke luar Pulau, akhirnya beberapa waktu lalu saya dapat kesempatan untuk melakukan perjalanan lagi. Tentunya perjalanan ini disertai dengan perkerjaan, bukan murni jalan-jalan liburan.

Kesempatan perjalanan kali ini adalah Pulau Belitung. Persiapan pun saya lakukan, mulai dari bawaan pribadi, alat-alat pendukung pekerjaan, sepeda (ya sepeda, berkunjung ke tempat yang asyik tentu akan mubazir jika tidak "blusukan" dengan sepeda), dan yang terakhir adalah tiket. 

Berhubung barang-barang bawaan yang cukup banyak dan juga kru yang saya bawa juga tidak sedikit, agar ekonomis saya memilih berangkat menggunakan kapal laut. Rencananya kami akan berangkat menggunakan kapal swasta, sudah jauh-jauh hari kami memesan tiket kapal swasta tersebut, tapi apa daya ternyata waktu hari H kapalnya gagal berangkat dikarenakan sepinya penumpang dan muatan yang menuju Pulau Belitung. Akhirnya kami memilih naik KM Lawit (milik PELNI), yang memiliki jadwal pasti walaupun harus mundur beberapa hari kemudian. Ya begitulah apabila naik Kapal Swasta, walaupun harga tiket lebih mahal, tetapi kepastian jadwal menunggu kuota penumpang dan muatan yang mencukupi. Lain halnya jika kita memilih Kapal Pelni yang memiliki jadwal tetap dan tetap akan berangkat walaupun sepi penumpang dan muatan sekalipun. 
Tarif KM Lawit kelas ekonomi cukup murah, hanya 170ribuan rupiah per orang dan mendapat ekstra bagasi 30kg. Wajar saja jika kemarin kapal swasta tidak jadi berangkat, karena ternyata Kapal Pelni pun sepi penumpang, dari 3 Dek Kelas Ekonomi, yang diaktifkan hanya 1, itupun masih banyak tempat kosong, mungkin jika dipadatkan hanya separuh dari kapasitas dek tersebut.

Kapal dijadwalkan berangkat pukul 15.00 dari pelabuhan Tanjung Priok. Dijadwalkan kapal tiba di Pulau Belitung pada pukul 08.00 pagi. Ini adalah kedua kalinya saya naik Kapal Pelni dan pertama kalinya saya mencoba kelas ekonomi. Berhubung sepi penumpang, maka kelas ekonomi pun cukup nyaman walaupun agak sedikit panas karena tidak ada hawa yang keluar dari lubang penyejuk udaranya.




Di dalam kapal saya bertemu dengan turis backpacker asal Jepang. Dia bercerita mengenai perjalanannya dari Jepang menyebrang Rusia, lalu ke China terus menuju selatan hingga akhirnya sampai ke Indonesia hanya melalui perjalanan darat (Kombinasi penyebrangan laut, bis dan kereta). Dia anti menggunkan pesawat terbang karena biayanya yang mahal. Saya lupa namanya karena agak susah diingat memang. Dia bercerita ingin menuju ke Pontianak lalu lanjut ke Kuching, karena visa berkunjungnya ke Indonesia sudah hampir habis. Cukup banyak cerita dan tukar pikiran dengan turis Jepang tersebut, meskipun ada beberapa hal yang tidak nyambung karena keterbatasan bahasa.

Walaupun agak panas, tapi suasana dek kelas ekonomi KM. Lawit cukup untuk membuat saya tidur nyenyak. Paginya kurang lebih pukul 08.00, kapal pun sudah mulai merapat ke pelabuhan Tanjung Batu. kapal membutuhkan waktu cukup lama untuk merapat dikarenakan kondisi air laut yang agak dangkal. Walaupun memakan waktu lama, tetapi kapal bisa merapat tanpa halangan.


Di pelabuhan Tanjung Batu, telah menunggu mobil-mobil antar-jemput yang siap mengantar ke tujuan. Di Pulau Belitung tidak ada angkutan umum ataupun taksi (Angkutan umum yang saya temui selama di Belitung hanyalah Bis yang menghubungkan Tanjung Pandan - Manggar). Harapan satu-satunya untuk keluar dari pelabuhan ini adalah jasa para supir mobil antar tersebut. Untuk tujuan Tanjung Pandan, biaya yang harus dikeluarkan kurang lebih 30.000-45.000 per orang. Jika belum punya kawan di Belitung yang bisa dipinjami kendaraannya sebaiknya kita menyimpan nomor telefon supir tersebut. 

Penduduk lokal Belitung sangat ramah dan tidak pelit berbagi (baik informasi maupun tenaga), sang supir mobil jemputan ini bahkan jadi teman baik kami. Dia tidak ragu untuk mengantarkan saya mencari tempat tinggal, sewaan motor, bahkan ke jaringan teman-temannya yang kira-kira dapat mendukung pekerjaan saya di Belitung. Selain terkenal dengan keramah-tamahannya, Belitung juga terkenal aman. Kita tidak perlu takut kehilangan motor atau mobil walaupun kunci masih menempel di kontaknya.

Hari pertama saya ada di kota Tanjung Pandan Belitung saya langsung membawa sepeda saya untuk berputar-putar keliling kota. Kotanya tidak besar, hanya dengan beberapa kali lewat saya sudah hafal jalan-jalan utama kota ini. Sepertinya pusat keramaian kota Tanjung Pandan tidak jauh-jauh dari bundaran dengan tugu replika Batu Satam.


Seperti halnya pusat kota, di sekeliling tugu ini banyak kita jumpai ruko dengan segala kegiatan ekonominya, pasar swalayan, hotel, gerai KFC, beberapa Bank dan perkantoran. Di dekat pusat kota juga terdapat Pantai Wisata, yaitu Pantai Tanjung Pendam. Tapi karena letaknya di kota, tentu kawasan ini sangat ramai pengunjung. Membuat saya tidak tertarik untuk mampir. 

Keesokan harinya saya mencoba untuk bersepeda lebih jauh, yaitu ke pantai Tanjung Tinggi. Jika dilihat dari peta, jarak dari Tanjung Pandan ke Tanjung Tinggi kurang lebih 35km. Tidak cukup jauh, PP hanya sekitar 70-80 km. 
Kualitas jalan di Pulau Belitung ini luar biasa bagus, aspalnya sangat halus. Menjadikan jalanan di wilayah ibukota seperti sampah jika dibandingkan.

Walaupun secara jarak tidak terlalu jauh, namun panas terik matahari yang menyengat secara langsung membuat perjalanan bersepeda saya menjadi sangat berat. Maklum terbiasa bersepeda di dalam kondisi panas matahari yang telah tersaring oleh lapisan polusi, jadinya cukup kaget menghadapi panas matahari yang begitu menyengat. Apalagi sebelumnya saya tidak memakai sun block atau manset pelindung lengan. Beruntung sepanjang perjalanan banyak ditemui warung milik warga, jadi tidak perlu takut dehidrasi.

Pemberhentian pertama adalah Kampung Nelayan Tanjung Binga. Dari pinggir jalan saya melihat sebuah dermaga dengan perahu-perahu nelayan dan air yang sangat jernih. Cocok untuk istirahat sebentar sambil mengambil beberapa foto.




Melihat air laut yang begitu jernih, terumbu karang dan ikan warna warni yang terlihat dari atas, tidak tahan rasanya untuk menceburkan diri. Tapi berhubung tidak membawa baju ganti, mau tidak mau harus ditahan juga. Setelah puas beristirahat dan berfoto-foto, saya kembali melanjutkan perjalanan.

Perjalanan saya lanjutkan ke arah utara, mengikuti jalan yang hanya satu-satunya menuju arah Tanjung Tinggi. Jalanan yang saya lewati cenderung datar, walaupun ada sedikit tanjakan tapi tidak curam. Penduduk kampung yang saya lewati sepanjang perjalanan ini sangat ramah, sering tegur sapa dan senyum walaupun dengan orang yang tidak dikenal. Tidak beberapa lama saya melihat petunjuk arah jalan menuju pantai wisata Tanjung Kelayang. Penasaran, akhirnya sepeda saya belokkan sebentar di Pantai Tanjung Kelayang. 

Oleh karena bukan musim liburan dan masih hari kerja, maka suasana Pantai-pantai masih sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang saya lihat. Di pantai Tanjung Kelayang banyak saya lihat penyewaan jet-ski, banana boat, bahkan sewaan perahu menuju lokasi-lokasi menarik, salah satunya Pulau Lengkuas. Menurut info, sewa perahu menuju pulau lengkuas berkisar 300-400ribu, tarif berlaku PP dan tidak terbatas waktu, selain itu juga disediakan fasilitas sewa untuk snorkling ataupun diving. 
Tapi karena waktu yang terbatas saya tidak mencoba untuk menyebrang ke Pulau Lengkuas. Hanya mengambil beberapa foto saja di Pantai Tanjung Kelayang lalu melanjutkan lagi perjalanan ke Pantai Tanjung Tinggi.


Suasan pulau Belitung mengingatkan saya dengan pulau Natuna. Tanah berpasir putih, bahkan sampai jauh di tengah pulau, batu-batu granit besar, air muara sungai yang berwarna kemerahan, pantai-pantai yang indah dan juga keramahan penduduknya. Hanya saja Belitung jauh lebih ramai daripada Natuna.

Hari semakin siang, panas dan sinar matahari semakin menyengat, membuat saya benar-benar kelelahan. Tapi pantai Tanjung Tinggi tinggal beberapa kilometer lagi, perjalanan tetap saya lanjutkan walaupun kelelahan dan kelaparan. Akhirnya setelah beberapa kilometer bersepeda saya sampai di pantai Tanjung Tinggi dan saya menemukan tempat yang cukup asyik untuk bersantai. Pemandangan pantai yang sangat indah, air laut yang sangat bersih dan tenang, pasir pantai yang putih dan bersih, sangat cocok untuk beristirahat sejenak dan berfoto-foto.
Berlibur diluar musim liburan memang mengasyikkan, pantai kosong seolah-olah ini adalah pantai pribadi.



Hari sudah menjelang sore, tapi perut belum juga terisi. Akhirnya saya mencari rumah makan di sekitar sini. Rumah makan yang cukup besar dan ada spanduk Bir. Isi perut dan minum bir pasti cukup segar pikir saya. Rumah makannya sebagian besar menyajikan aneka masakan ikan. Berhubung tidak terlalu suka ikan, saya memesan nasi capcay dan beberapa gelas es teh manis. Oleh karena sudah terlanjur kembung es teh manis, saya tidak jadi memesan bir, hahaha.
Ngobrol-ngobrol dengan pemilik rumah makan, sebenarnya ada lagi area yang mengasyikkan, tapi jalan yang dilalui adalah jalan tanah nanjak. Hari sudah semakin sore, saya pun harus kembali ke Tanjung Pandan. Sambil mencari tempat yang dimaksud oleh pemilik rumah makan tadi, saya pun mencoba blusukan di beberapa jalan tanah.

Sedikit menyalahi peruntukkan sepeda memang, sepeda balap dengan ban tipis. Terasa sangat berat dan licin untuk mengayuh di tanah berpasir. Setelah beberapa saat blusukan, akhirnya ketemu juga lokasi yang dimaksud. Jalan tanah yang menanjak, karena tidak memungkinkan untuk mengayuh sampai atas, sepeda terpaksa saya panggul, ya sedikit kayak cyclocross lah, tapi salah bawa sepeda, hahahaha...



Benar saja, pas sampai di atas disuguhi pemandangan yang sangat indah. Pasir pantai putih membentang dengan hiasan batu-batu granit besar. Sayangnya saya tidak bisa menjelajahi tempat ini lebih lama, karena hari sudah semakin sore, saya ingin tiba di Tanjung Pandan sebelum gelap. Tiba di Tanjug Pandan tepat menjelang maghrib, perjalanan yang hanya 80an km, tapi sangat melelahkan, belum lagi ditambah kulit saya yang gosong terbakar.