Monday 22 June 2015

Roadtrip di sekitaran Jawa Timur

Kurang lebih awal bulan Juni ada pekerjaan yang mengharuskan saya pergi ke Surabaya. Padahal waktu itu saya baru saja pulang dari perjalanan dinas di Pontianak. Berat rasanya harus meninggalkan Lala dan Istri lagi. Baru saja sampai rumah lalu harus pergi lagi. Sudah terbayang pasti Lala tiap malam menangis sambil digendong tidak mau diajak masuk ke dalam rumah menunggu Papapnya pulang. Ditambah kondisi Istri yang sedang hamil, saya makin tidak tega apabila tiap malam Istri harus menggendong Lala di depan rumah. Apalagi saya ada rencana sepulang dari Surabaya mau mencoba beberapa spot snorkeling di Jawa Timur dan Umbul Ponggok di Klaten. Pasti akan memakan waktu paling tidak satu minggu lebih.

Akhirnya saya memutuskan untuk mengajak keluarga sekalian. Agar nanti ketika saya di Surabaya, Lala dan Istri saya bisa singgah sebentar di rumah neneknya Lala di Blitar. Paling tidak saya sedikit tenang ketika Lala harus ditinggal pergi kerja sekaligus jalan-jalan ini, karena neneknya ikut momong, jadinya bisa teralihkan ketika sudah mulai minta mencari Papap.

Sedikit persiapan yang saya bawa untuk perjalanan kali ini:


Sesampai di Blitar, saya langsung menuju Surabaya keesokan harinya. Singkat cerita pekerjaan sudah selesai. Lalu saya browsing beberapa alternatif tempat snorkeling di Jawa Timur. Opsi pertama di dapat Teluk Kletekan di Dampit, Malang. Opsi berikutnya adalah di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Situbondo.

Sebelumnya saya menghubungi keponakan saya di Solo, mengajak dia untuk ikut road trip ini. Perjalanan kami rencanakan pagi buta, agar sampai lokasi masih pagi dan bisa meninggalkan lokasi sebelum sore. Karena dari beberapa referensi menyebutkan jalan ke arah lokasi masih minim penerangan dan jalannya agak menantang. Jadi pulang dari lokasi dalam keadaan gelap sangat tidak bijaksana. Keponakan saya berangkat naik kereta dari Solo sekitar jam 10 malam, lalu sampai Blitar jam 2 pagi.

Rencana awalnya memang langsung berangkat saat saya jemput di stasiun. Tapi rencana tinggal rencana, karena setelah dari stasiun saya harus kembali dulu ke rumah sebentar, mengambil barang-barang yang tertinggal dan akhirnya berangkat sudah menjelang terang.

Perjalanan Blitar-Dampit dengan perjalanan santai ditempuh dengan waktu kurang lebih 4 jam. Di beberapa blog menyebutkan rute-rute untuk menuju Pantai Lenggoksono (akses ke Teluk Kletekan melalui pantai ini). Tapi saya memutuskan untuk mengikutai arahan GPS dari Google Maps di HP saya. Ternyata, arahan dari Google Maps ini hanya menunjukkan akses terdekat tanpa melihat kondisi jalan yang ada (tentu saja, ini hanya program).

Kondisi jalan yang saya lalui sungguh menjemukan, jalanan berliku-liku, naik-turun, jauh dari penduduk, dan yang lebih parah adalah jalanannya makadam serta banyak lubang-lubang besar.

Selama ini di lingkungan perkotaan, penggunaan aplikasi peta dan kompas digital sangat membantu saya dalam mencari jalan. Tapi ternyata hal tersebut tidak berlaku di luar wilayah perkotaan. Memang jalannya sudah tercantum di Google Maps tapi apabila kondisi jalannya seperti ini saya jadi ragu apakah jalannya akan sampai ke tempat tujuan. Rupanya saya tidak sendiri, sepanjang jalan di belakang saya terlihat sepasang muda-mudi naik motor, si pemboncengnya selalu memegang HPnya sambil sesekali tolah-toleh. Hmmmm, pasti dibikin bingung oleh Google Maps juga ini, batin saya.

Dua jam lebih saya berada di jalan offroad ini. Pada akhirnya saya menggunakan cara tradisional, yaitu bertanya ke beberapa warga sekitar yang saya temui. Setelah beberapa kali diarahkan warga dan mengikuti beberapa petunjuk swadaya (hanya berupa papan yang ditulis seadanya), saya kembali ke jalan utama yang ternyata jalannya sangat halus. Walaupun jalan menuju lokasi pantai cukup sempit dan tetap berkelok-kelok naik turun, tapi secara keseluruhan kondisi aspalnya cukup halus, memang ada beberapa titik aspal yang bolong tapi tidak signifikan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, tapi thermometer di mobil menunjukkan kalau suhu luar masih 24 derajat celcius. Wajar saja, walaupun kami sedang menuju ke arah pantai, tapi sebenarnya kami melewati jalan pegunungan. Jangan sampai terlena dengan pemandangan luar, kita harus tetap fokus ke jalan, karena kondisi jalannya yang sempit, berliku-liku dan pinggirnya adalah jurang.

Berdasarkan beberapa papan petunjuk arah swadaya yang saya ikuti, akhirnya kami tiba di lokasi tujuan, Pantai Lenggoksono. Terlihat pantai Lenggoksono ini seperti teluk dengan dinding karang di kedua tepinya dan cekungan garis pantai yang menjorok ke dalam. Pantainya sendiri didominasi oleh batuan bulat kecil-kecil. Seperti halnya laut selatan Pulau Jawa, ombak di pantai ini cukup lumayan tinggi, tapi karena pantainya menjorok ke dalam maka pecahan ombaknya berada agak ke tengah. Rupanya pantai ini sering juga dibuat latihan surfing, tapi sayangnya tidak terdapat persewaan alat surfing di sana. Ada satu papan surfing, itu pun rusak.

Tidak ada retribusi khusus untuk masuk Pantainya, kita cukup membayar parkir Rp. 10.000 untuk mobil (dan Rp. 5.000 untuk motor). Untuk menuju lokasi Teluk Kletekan bisa dengan menyewa perahu atau dengan ojek. Pilihan ojek saya coret. Kami memilih untuk naik perahu.

Tarif perahu perorang adalah Rp. 50.000 dengan kapasitas perahu 6-7 orang. Tarif tersebut adalah paket kunjungan ke spot Snorkeling Teluk Kletekan, Pantai Bolu-Bolu dan Banyu Anjlok. Apabila mengikuti tarif paket, maka mau tidak mau kita harus mengikuti durasi yang sudah ditentukan bersama. Oleh karena tujuan awal kami adalah Snorkeling dan kami tidak mau waktu snorkeling dibatas, maka kami memutuskan untuk mencarter perahu saja, lagipula pada waktu itu bukan hari libur jadi tidak banyak pengunjung, sehingga untuk memenuhi kuota perahu agak lama.

Tarif carter perahu adalah Rp. 300.000, sebenarnya sudah termasuk dengan perlengkapan snorkeling dan pelampung. Tapi kami sudah membawa sendiri perlengkapaanya.



Kondisi langit yang tidak cerah dan ombak yang cukup besar sempat membuat saya risau, jangan-jangan nanti snorkelingnya tidak maksimal. Dan ternyata benar, sampai lokasi snorkeling ombak dan arus cukup kuat ditambah lagi langit yang agak mendung. Membuat saya tidak bisa melihat apa-apa di dalam air. Untuk menikmati pemandangan terumbu karang ini, kita harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyelam ke dalam. Kondisi air yang kurang jelas membuat kami tidak bisa menikmati pemandangan bawah laut dari permukaan air.




Sebenarnya apabila ombak dan arusnya tidak sedang kuat, sepertinya spot ini cukup menyenangkan. Tidak terlalu dalam saya kira, mungkin berkisar 3-5 meter, bahkan fin saya beberapa kali terasa menyentuh terumbu karangnya. Akhirnya kami menyerah, karena selain melelahkan, kami tidak mau ambil resiko. Operator perahu menyarankan untuk beristirahat di pantai Bolu-bolu. Pantai Bolu-bolu terletak di balik tebing karang di Teluk Kletekan. Tidak ada yang menarik dari pantai Bolu-bolu ini. Hanya terdapat dua buah warung makan darurat dan sebuah rumah penduduk di pojokkan. Pantainya sendiri cenderung kotor, sampah dimana-mana.


Rupanya kekecewaan saya tidak berhenti di kondisi spot snorkeling yang berarus dan berombak kuat. Operator perahu juga agak sedikit mengecewakan. Dalam bayangan saya, namanya mencarter adalah ditungguin, karena kita sudah menyewa seluruh perahunya. Tapi ternyata sesampainya di Pantai Bolu-bolu kami ditinggal oleh operator perahu untuk mengambil penumpang lagi dari Pantai Lenggoksono, mereka bilang tidak lama hanya 30 menit. Ya tidak lama memang, tapi agak dongkol saja. Setelah dari pantai Bolu-bolu saya minta untuk diantar kembali ke Pantai Lenggoksono saja, karena hari sudah semakin sore dan kami harus melanjutkan perjalanan.

Setelah selasai main-mainnya dan sudah cukup bersih. Kami melanjutkan perjalanan kembali. Perjalanan kembali ke arah Dampit kota ini saya mencoba untuk melewati jalur utama. Dan ternyata memang jauh lebih cepat. Jadi apabila mau ke arah Pantai Lenggoksono, dari arah Dampit kota menuju Lumajang, sampai ketemu pertigaan dengan tugu garuda di kanan jalan, kita ambil kanan, lalu tinggal ikuti saja jalannya.

Perjalanan berikutnya adalah menuju ke Taman Nasional Baluran. Saya tidak mau melewati jalur selatan (Lumajang-Banyuwangi). Karena saya melihat jalurnya yang berkelok-kelok, banyak melewati truk pasir yang lambat dan hari sudah malam, pasti akan sangat melelahkan.

Saya memutuskan untuk melewati Probolinggo-Situbondo. Dari Dampit saya mencoba jalur yang disarankan oleh Google Maps yaitu melewati Bromo. Sepertinya mengasikkan, apalagi saya belum pernah ke Bromo sebelumnya. Setelah beberapa saat saya pun memasuki wilayah Bromo, sampai akhirnya saya dilarang masuk di gerbang Taman Nasional Bromo-Tengger-Sumeru. Mobil selain jip yang disewakan atau ojek yang dikelola warga setempat dilarang masuk, tidak akan bisa menembus pasirnya katanya. Ya sudah terpaksa kami putar balik. Ketika saya mengabari istri saya yang di rumah, saya malah ditertawakan, sambil bilang "emang kamu ga tahu ya? cari tahu dulu kek"
Hahaha, karena malam itu sudah terlalu bersemangat untuk bermalam beratapkan Milky Way, sampai tidak sempat untuk browsing-browsing terlebih dahulu.
Tapi sudah terlanjur sampai gerbang Bromo, saya sempatkan terlebih dahulu untuk mengambil foto Milky Way yang bisa terfoto.


Karena gagal melewati Bromo, terpaksa kami putar haluan ke Kota Malang. Saya berhenti di Guest House langganan di daerah Soekarno-Hatta. Pertimbangan memilih penginapan daripada tidur di dalam mobil di rest area adalah, karena besok perjalanan masih cukup jauh (Malang-Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Banyuwangi), maka kami harus mendapatkan istirahat yang cukup dan nyaman sebelum melakukan perjalanan.

Keesokan harinya saya kembali melanjutkan perjalanan, check out dari Guest House kurang lebih jam 10 pagi. Sebelumnya istri sempat memberikan informasi bahwa di Banyuwangi ada spot snorkeling yang cukup bagus, lokasinya sebelum pelabuhan Ketapang, di desa Bangsring. Setelah beberapa kali browsing dan membandingkan dengan rencana sebelumnya di Pantai Bama. Akhirnya kami memutuskan untuk snorkeling saja di Pantai Bangsring tersebut, karena lokasinya yang langsung dekat dengan pantai. Perjalanan kami lanjutkan, seperti biasa perjalanan santai sambil menikmati kondisi jalan yang lurus-lurus khas pantai utara Jawa. Sesampainya di Pantai Bangsring sudah jam 5 sore. Tidak terlihat ada petunjuk jalan masuk ke lokasinya. Akses masuknya hanya jalan sempit yang muat satu mobil dan terletak diantara kebun tebu. Untungnya di Google Maps ada nama Bunder (Bangsring Underwater) dan itulah yang kami cari.

Karena hari sudah menjelang maghrib, saya memutuskan untuk melihat-lihat lokasi terlebih dahulu dan kembali keesokan paginya. Sambil melihat-lihat kondisi saya mengobrol dengan salah satu kru Bunder yang sedang membereskan perahunya. Dia menawarkan penginapan di dekat pantai. Sebenarnya bukan penginapan secara resmi, melainkan rumah salah satu kru Bunder yang baru dibangun namun belum ditempati dan lebih sering dijadikan guest house.

Malam kami lalui dengan mengobrol dan berbagi informasi dengan pemilik rumah yang juga salah satu kru Bunder tersebut. Dia menceritakan bahwa pembentukan Bunder ini didasari oleh rasa penyesalan para nelayan-nelayan yang dulunya menangkap ikan dengan cara mengebom dan meracun. Sehingga akhirnya merusak ekosistem bawah laut yang menyebabkan ikan-ikan semakin langka. Akhirnya dengan swadaya para nelayan-nelayan ini berinisiatif untuk membangun konservasi terumbu karang dan apartemen ikan untuk mengembalikan ekosistem bawah laut. Awalnya tempat ini bukan tempat wisata, melainkan tempat konservasi dan budi daya terumbu karang. Seiring dengan menyebarnya informasi, semakin banyak orang yang datang untuk berkunjung dan belajar. Pada tahun 2014 lalu mereka mendapatkan bantuan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan sebuah rumah apung, beberapa banana boat (untuk transportasi pengunjung dari pantai ke rumah apung). Tentu hal ini berdampak positif bagi perekonomian setempat. Selain itu komitmen antar sesama nelayan untuk menjaga ekosistem juga dijaga. Si pemilik rumah bilang, apabila ada melihat nelayan menombak atau menangkap ikan di area konservasi maka akan ditangkap, meskipun itu adalah temannya sendiri.

Kami direkomendasikan untuk mencoba snorkeling di Pulau Tabuhan, yang berjarak kurang lebih 30 menit dari pantai Bangsring. Tarif sewa perahu adalah Rp. 450.000 dengan kapasitas 8-10 orang. Si pemilik rumah akan membantu kami untuk mengatur transportasi kami ke Pulau Tabuhan. Kami diarahkan agar bareng dengan rombongan supaya biayanya tidak mahal. Kami pun menyetujui tawaran tersebut.

Kami sudah berada di pantai sejak pukul 4.45 pagi, karena kebetulan saya ingin mencoba video timelapse Sunrise. Hasil video tidak saya upload di youtube melainkan bisa di cek di Instagram Saya


Kebetulan pagi itu ada 7 orang dari Surabaya ingin snorkeling di Pulau Tabuhan. Jadi tidak pakai lama langsung kami berangkat bersama ketujuh orang tersebut. Biaya pun menjadi lebih murah hanya Rp. 50.000 per orang. Pulau Tabuhan merupakan pulau tak berpenghungi yang terletak di timur Banyuwangi. Hanya terdapat satu bangunan yaitu mercusuar peninggalan Belanda. Kondisi bawah laut Pulau Tabuhan yang dekat pantai didominasi oleh hamparan rumput laut, sedikit agak ke tengah baru kita bisa menemui terumbu-terumbu karang. Terumbu karang yang lebih bervariatif kita bisa temui agak jauh dari pantai, sekitar 100 meter dari pantai. Tapi hati-hati, di spot ini kita mendekati palung dan arus bawah lautnya cukup kuat. Saya cuma sebentar di spot ini karena arusnya berasa sekali menarik kita.












Setelah cukup puas snorkeling di Pulau Tabuhan, kami kembali ke Bunder. Untuk mengembalikan energi lalu kembali lagi untuk snorkeling di Bangsringnya sendiri.

Untuk snorkeling di Bunder, apabila kita membawa perlengkapan sendiri, maka kita dikenakan biaya Rp. 15.000. Biaya tersebut tetap dikenakan walaupun kita sudah bersnorkling di Pulau Tabuhan. Saya kira biaya tersebut masih relatif murah, mengingat mereka juga punya biaya operasional dan para kru yang harus digaji.

Spot snorkeling di Bunder berada di dekat rumah apung. Rumah apung sendiri berjarak kurang lebih 30 meter dari pantai. Bagi yang bisa berenang, bisa langsung snorkeling dari pantai. Bagi yang tidak bisa berenang disediakan sebuah perahu motor berbentuk pisang sebagai antar jemput. Biayanya pun cukup murah, hanya Rp. 5.000 pulang pergi.

Oleh karena terumbu karang di Bunder ini merupakan budi daya, maka terumbu karangnya pun lebih bervariasi, begitu pula dengan ikan-ikan yang berada di dalamnya.



Arus yang tenang, pemandangan bawah laut yang menakjubkan, cuaca cerah, snorkeling kali ini benar-benar mengobati kekecewaan snorkeling di Dampit sebelumnya. Waktu sudah semakin siang, kami pun memutuskan untuk berkemas-kemas dan kembali ke rumah. Singkat cerita kami sudah sampai ke rumah. Tapi perjalanan ini masih belum berakhir, karena kami masih ada satu lokasi snorkeling favorit yaitu Umbul Ponggok, walaupun ini bukan di Jawa Timur.

Beberapa hari kemudian saya harus kembali ke Jakarta untuk melanjutkan aktivitas. Seperti biasa, saya selalu mampir Solo sebagai tempat transit. 

Apabila di Solo saya selalu menyempatkan diri untuk berenang dan snorkeling di Umbul Ponggok. Setelah beberapa hari sebelumnya cukup puas berinteraksi dengan ikan laut, sekarang saatnya berinteraksi dengan ikan air tawar. Tidak lupa saya membawa nasi sebagai pakan ikan. Melihat ekspresi ikan-ikan pada berebutan makanan cukup menghibur saya.








Waktu yang tepat untuk datang ke Umbul Ponggok menurut saya adalah sekitar jam 8-9 pagi. Tapi dengan resiko airnya cukup untuk membuat kita menggigil kedinginan. 

Setelah cukup puas bermain-main dengan para ikan air tawar. Sayapun harus kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta.

Sekian cerita perjalanan singkat ini, sampai bertemu di cerita perjalanan saya yang lain...

3 comments:

  1. umbul ponggok masih dalam waiting list explore.. itupun baru tau dari tipi.
    nice trip gan..

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih udah mampir bro... umbul ponggok asyik kok untuk dikunjungi, dan jangan lupa untuk tetep jaga kebersihan lokasinya yaa..

      Delete
  2. Bro, apakah masih punya kontak kapal untuk di banyu anjlok?

    ReplyDelete