Monday 18 May 2015

Track Hutan UI, Riwayatmu Kini....

Sudah lama sekali saya tidak bersepeda di track hutan UI, padahal dulu (mungkin kurang lebih mulai dari tahun 2007-2010) track ini merupakan track favorit saya. Karena pada waktu itu jaraknya yang relatif dekat dengan rumah. Ketika masih kuliah saya selalu main ke sini menjelang sore atau ketika sudah bekerja main di track hutan UI pada weekend sore. Saya selalu bermain pada sore hari karena kondisi tanah cukup kering setelah terpapar sinar matahari sepanjang siang. Kalau bermain di pagi hari, memang udara cukup segar, bahkan berkabut jika udara sedang dingin, tapi justru membuat tanah menjadi licin dan tidak nyaman untuk bermain sepeda di dalamnya. Pada waktu itu ada saja yang bermain di track tersebut, setiap sore pada hari biasa paling tidak ada 5-10 pesepeda yang bermain, entah bermain di mangkoknya (Dirt Jump) atau di track obat nyamuk (XC). Saya sendiri paling suka dengan track obat nyamuknya karena perpaduan tanjakan, turunan dan tikungan yang cukup teknikal. Kalo di mangkoknya jujur saya masih belum berani, hehehe...

Namun setelah menikah dan pindah rumah, saya sudah tidak pernah main di track tersebut. Selain jaraknya yang menjadi jauh, waktu dan sepedanya juga tidak ada. Waktu berlalu, sekarang saya sudah memiliki waktu dan sepeda gunung. Siang ini saya mau mencoba track tersebut.

Walaupun berangkat dari rumah siang, tapi sampai kampus UI menjelang sore, sekitar jam 3 sore. Waktu yang tepat sebenarnya untuk bermain di dalam track hutan UI. Apalagi jika cuaca sedang carah, kondisi tanah pasti kering dan suasana di dalam tracknya tidak terlalu gelap. Berhubung akses jalan menuju track yang selalu diportal, maka mobil saya parkir di parkiran dekat stadion dan saya gowes sedikit ke dalam tracknya. Pilihan yang paling dekat dan tidak melanggar rambu dilarang parkir.

Saya cukup kaget melihat akses samping portal yang di kawat duri cukup panjang, sehingga saya harus sedikit memanggul sepeda. Mungkin untuk antisipasi agar motor tidak banyak melanggar jalan ini.


Sampai di lokasi ternyata tidak ada satupun pesepeda yang terlihat, hanya saya sendiri. Agak ganjil sih, mengingat dulu kurang lebih jam segini pasti ada aja pesepeda yang sedang main. 


Kondisi mangkok walaupun masih bisa dilalui, tapi rasanya kurang aman untuk bermain Dirt Jump 


Sayapun mencoba masuk ke dalam. Seperti biasa (seingat saya), saya start di track mangkok, menyusuri beberapa ruas single track sebelum akhirnya masuk ke area danau dan track obat nyamuk. Tapi tadi ketika saya mencoba single track di jalur mangkok rupaya banyak yang berubah, selain single tracknya hilang tertutup daun-daun kering dan cabang-cabang pohon yang patah, serta banyak tertutup oleh sampah. Jika tertutup oleh daun-daun kering dan cabang-cabang pohon yang tumbang saya kira masih dimaklumi, ya seperti ini kurang lebih kondisi hutan. Tapi kalau sampai tertutup oleh sampah itu kok kebangetan sekali ya?



Saya mengambil kesimpulan bahwa single track ini sudah tidak dapat dilewati lagi, karena banyaknya sampah. Akhirnya saya memutuskan untuk memutar dan mencoba track mini downhill sebelum masuk ke track obat nyamuk. Track mini downhill ini hanya berupa turunan singkat dari kanstin trotoar lalu masuk ke dalam single track, dan didalamnya ada sekitar 2 buah berm dan beberapa drop kecil dan saya lihat ada tambahan gap. Oleh karena kontur hutan UI yang bukan pegunungan, oleh karena itu di mini downhill ini kita dituntut untuk pedaling agar bisa melibas berm dan drop dengan optimal. Tapi kondisi mini downhill yang saya lihat tadi agak berbeda jauh dengan yang terakhir saya main dulu. Kondisi berm dan dropnya banyak yang sudah terkikis. 


Setelah cukup puas melihat-lihat kondisi track mangkok dan mini downhill saya melanjutkan ke track obat  nyamuk. Beberapa penunjuk arah masih terlihat menempel di pohon. Kondisi single track juga kurang lebih sama dengan yang terakhir saya main. Terlihat masih banyak bekas tapak ban sepeda, pertanda bahwa track ini masih lumayan sering dilalui. Tapi sayang kondisi track di track obat nyamuk ini banyak terpotong oleh pohon tumbang, yang mengakibatkan jarak track terpangkas cukup banyak. Cukup mengganggu juga sih, baru lumayan dapat speed lalu tiba-tiba dihadang pohon tumbang.




Sebenarnya jika terkumpul tenaga dan bahan yang cukup, pohon-pohon tumbang yang melintang tersebut bisa dijadikan obstacle semacam drop atau jembatan kayu (ala-ala North Shore).

Kondisi single track yang sempit membuat handle bar saya dengan panjang 785mm sering menyangkut di semak-semak. Memang, bermain di track hutan UI ini cocoknya dengan sepeda XC race dengan handle bar tidak terlalu panjang (di bawah 700mm lah). Sepeda Freeride dengan suspensi panjang sepertinya tidak cocok untuk bermain di track hutan UI. Bisa aja sih, tapi kurang nyaman dan tidak efisien. 

Memasuki area dekat danau kita akan disuguhi oleh pemandangan yang tidak mengenakkan. Jika di depan kita sudah disuguhi oleh sampah-sampah yang menutup single track. Kali ini kita akan disuguhi lebih banyak sampah lagi. Mulai dari sampah bekas bungkus makanan, sampah plastik (beraneka macam plastik, mulai plastik kresek, plastik bungkus mie instan, plastik sabun cuci pakaian, plastik penyedap rasa dan plastik-plastik bungkus lainnya), hingga yang paling aneh adalah sampah celana kolor, dan jumlahnya cukup banyak. 






Ya cukup menyedihkan dan ironis memang, Hutan Kota yang fungsinya sebagai paru-paru kota malah tanahnya dijadikan tempat pembuangan sampah. Saking banyaknya sampah, saya sempat khawatir jangan-jangan nanti pas bersepeda saya melindas tulang manusia, mengingat kejadian kriminal dan penemuan jasad yang melibatkan hutan UI beberapa waktu lalu, tapi semoga itu hanya imajinasi liar saya saja 

Setelah cukup berkeliling track obat nyamuk, saya memutuskan untuk kembali ke parkiran dan pulang ke rumah. Sepertinya bersepeda ke track hutan UI hari ini paling tidak menghilangkan rasa penasaran saya yang sudah lama tidak bersepeda di dalam track hutan UI.


Friday 15 May 2015

Piknik Ke Bandung

Hanya piknik ke Bandung kenapa harus ditulis di blog? Toh jaraknya hanya beberapa jam dari Jakarta dan hampir sebagian besar orang juga pernah ke sana?

Tidak apa-apalah, sebab saya berfikir perjalanan biasa akan terlihat seru apabila diceritakan, sementara perjalanan yang (ternyata) seru akan jadi biasa-biasa saja (dan mungkin terlupakan) kalau tidak diceritakan.

Baiklah, jadi begini ceritanya...
Berawal dari sebuah undangan pernikahan seorang kawan lama. Rasanya kurang seru kalau ke Bandung hanya untuk menghadiri acara pernikahan lalu pulang kembali ke Jakarta. Setelah diskusi dengan istri bahwa nanti setelah menghadiri acara pernikahan kita akan piknik dan jalan-jalan di Bandung. Tidak lupa membawa serta sepeda, karena mau mencoba sekalian sepeda Patrol 781 yang sudah lama terakit tapi tidak kunjung dipakai di track yang seharusnya.

Setelah segala persiapan selesai dikemas dan dimasukkan ke dalam mobil, kami berangkat dari rumah sekitar jam 10.30 siang. Perjalanan di jalan tol cukup lancar tapi kami istirahat cukup lama di rest area Karawang untuk makan siang. Perjalanan tidak diburu-buru sehingga sampai Bandung sudah agak sore. Awalnya ingin menginap di Hotel Grafika Cikole, karena keesokkan paginya mau mencoba main Downhill di Cikole, jadi supaya bisa main pagi dan masih banyak waktu siang sampai sore untuk piknik di Hutan Pinus dan berargrowisata memetik strawberi. Tapi setelah membaca beberapa review positif maupun negatif di Hotel tersebut, kami memutuskan untuk tidak jadi menginap di sana, selain itu lokasinya juga terlalu jauh dengan lokasi resepsi pernikahan yang nanti akan dihadiri. Akhirnya kami memutuskan untuk menginap di Hotel Wirton yang berlokasi di Dago Atas. Walaupun tarif kamarnya relatif murah (250.000an pada hari biasa), tapi kualitasnya cukup bagus, kamar yang bersih dan nyaman, parkir yang luas, staff hotel yang ramah, lokasi yang berada tidak jauh dari pusat kota dan keramaian. Sedikit hal negatif, yaitu restoran buffet yang terletak di samping lobby agak kurang ramah terhadap orang yang tidak perokok. Jadi orang bebas merokok di restoran yang sebenarnya ruang tertutup dan berAC. Bagi saya (yang tidak perokok) sebenarnya tidak masalah, tapi bagi istri saya yang sedang hamil muda dan alergi bau rokok, hal tersebut agak sedikit mengganggu. Tapi mengingat harga yang relatif murah dibandingkan dengan kualitas kamar dan kenyamanan yang diberikan, kami merasa hal ini dapat dimaklumi. Kami cukup menghindar dan mencari tempat yang tidak terlalu bau rokok saja.

Tiba di hotel sudah menjelang maghrib, kami pun beristirahat sebentar dan bersiap-siap ke acara pernikahan. Singkat cerita setelah acara pernikahan tersebut kami langsung pulang ke hotel dan langsung beristirahat, bersiap-siap untuk acara piknik keesokkan harinya.

Keesokkan harinya kami berangkat menuju Cikole, tidak lupa sepeda dan perlengkapannya dibawa serta .

Perjalanan menuju ke Cikole saya pilih melalui jalan Dago Giri lalu menuju jalan Tangkuban Perahu. Ya, sok tahu saja sebab saya sendiri belum pernah lewat sana, habisnya melihat dari aplikasi GMaps, jalur jalan utama (Setiabudi-Lembang) kok merah gelap semua, pertanda jalanan sangat macet dan kurang asyik untuk dilalui. Ternyata jalur yang dilalui cukup membutuhkan konsentrasi, selain karena jalannya yang sempit, juga banyak jalan yang berlubang. Setelah beberapa saat dan tersasar cukup jauh akhirnya kami tiba di tujuan.

Masuk ke area Cikole-Jayagiri (terletak di sebelah kiri jalan, setelah Terminal Wisata Grafika Cikole) hanya membayar 10.000 saja di pos gerbang masuknya. Oleh karena kami datang pada hari kerja, lokasinya sangat kosong, tidak ada orang lain kecuali kami bertiga.

Akhirnya setelah sekian lama bersepeda, baru kali ini ada kesempatan untuk mencoba track Cikole. 

Setelah menurunkan sepeda dan perlengkapannya, saya mencoba untuk menyusuri track dengan berjalan kaki. Saya merasa menyusuri track dengan berjalan kaki ini sangat penting, sebab saya sama sekali belum ada bayangan situasi tracknya seperti apa. Setelah berjalan kaki ke bawah kurang lebih 1,5km-an, PR berikutnya adalah kembali ke atas, karena pada hari biasa tidak ada orang yang main sepeda sehingga tidak ada mobil pickup yang standby untuk loading ke atas. 

Sebenarnya main sendirian pada saat track sepi ada enaknya juga, kita tidak perlu jadi malu kalau ternyata kita sangat pelan di track, apalagi saya yang sudah hampir 5 tahun tidak pernah bermain MTB, tentunya di track akan sangat pelan dan sangat kagok. Tidak enaknya adalah jika terjadi apa-apa di dalam track tidak ada yang tahu dan tidak ada yang menolong, selain itu tidak ada kendaraan untuk loading kembali ke titik start.
Beruntung pada saat itu ada orang yang sedang belajar mobil memakai mobil pick up bersedia untuk memberikan saya tumpangan ke atas.



Suasana hutan pinus Cikole yang sangat sejuk dan asri membuat Lala senang untuk berlari-larian dan memetik buah murbey yang berada di pinggir jalan, sehingga Lala tidak rewel ketika saya tinggal bermain downhill sebentar. Maklum Lala tidak bisa jauh sama Papapnya.








Ya, Lala memang senang sekali mengisengi Papapnya. Sebelum saya turun ke track ada saja tingkah lakunya. Untungnya Lala tidak nangis ketika saya tinggal main ke track. 

Cuti bermain MTB selama hampir 5 tahun membuat telapak tangan saya terasa ngilu bahkan sampai gemetar. Oleh karena itu saya hanya sanggup 2 kali putaran saja mencoba track tersebut, karena tangan saya sudah tidak sanggup lagi. Selain karena belum terbiasa lagi, pemakaian handgrip yang keras dan glove yang tertinggal di rumah, juga berpengaruh. Saya merasa 2 kali putaran pun sudah cukup, karena hari sudah semakin siang dan kami pun harus mencari tempat makan siang. 




Sepulang dari track downhill, kami mampir di Terminal Wisata Cikole untuk makan siang dan beragrowisata, memetik strawberry dan memberi makan rusa. Sebenarnya paket wisata yang ditawarkan oleh Terminal Wisata cukup bervariasi, tapi kami mengambil pilihan agrowisata saja, tentu saja supaya bisa dinikmati oleh Lala yang masih berusia 2,5 tahun. Tiket masuk ke lokasi kebun strawberry cukup murah, hanya 5.000/orang sudah termasuk segelas jus strawberry dan ubi-ubian untuk pakan rusa. Jika ingin memetik strawberry kita cukup membayar dengan harga 6.000/ons, sayangnya pada saat itu buah strawberrynya tinggal sedikit karena berbarengan dengan rombongan pariwisata dan kami hanya dapat 1/2 kg strawberry. Tapi walaupun begitu, Lala sangat senang sekali memetik buah strawberry satu-persatu dan dimasukkan ke dalam keranjangnya. Setelah cukup puas memetik strawberry, kami menuju kandang rusa untuk memberi makan rusa. Satangnya kami hanya bisa memberi makan rusa dari balik pagar kandang saja.





Hari sudah semakin sore dan kami memutuskan kembali ke Hotel untuk beristirahat. Hari berikutnya kami memutuskan untuk check out dan kembali ke Jakarta. Tapi sebelumnya kami memutuskan untuk mencari oleh-oleh terlebih dahulu, setelah browsing-browsing akhirnya kami memilih Rumah Sosis di daerah Setiabudi, karena selain menjual aneka produk sosis juga tersedia kolam renang dan arena bermain anak.

Masuk ke area Rumah Sosis cukup membayar 5.000 untuk parkir mobil dan tiket masuk ke dalam sebesar 3.000/orang. Tapi jika ingin bermain di wahana atau atraksi yang disuguhkan kita harus membayar tiket lagi, harganya bervariasi sesuai jenis permainan.

Lala langsung heboh dan langsung menarik saya untuk berenang di kolam mandi bola. Bukan mandi bola seperti di arena permainan anak pada umumnya, tapi kolam renang anak dengan bola-bola mengambang di permukaannya.


Walaupun sebenarnya airnya cukup dingin, tapi Lala seolah lupa dan asyik dengan mandi bolanya tersebut. Setelah kami rasa cukup berenangnya, kami melanjutkan ke wahana Rumah Kelinci. Harga tiket masuk sudah termasuk dengan wortel sebagai pakan kelinci. Tapi sebaiknya kita harus bijaksana dalam memberi makan kelincinya, jangan dihabiskan sekaligus, karena jika wortelnya habis kita harus membeli lagi wortel-wortel tersebut seharga tiket masuk.

Pada awalnya Lala agak takut, karena kelinci-kelinci lucu berbulu tebal tersebut langsung berlari mengejar Lala yang memegang wortel, tapi setelah beberapa saat akhirnya Lala berani dan malah gemas dengan kelinci-kelincinya.




Setelah cukup puas bermain di kolam renang dan rumah kelinci, akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi acara bermain-mainnya. Oleh karena restoran di Rumah Sosis hanya dibuka pada weekend saja, terpaksa kami hanya membeli oleh-oleh saja dan mencari makan di luar sambil ke arah pulang ke Jakarta.
Hasil pantauan lalu lintas di Gmaps menunjukkan arah balik ke arah gerbang Tol Pasteur cukup macet, saya memutuskan untuk sedikit memutar melewati Lembang ke arah Cimahi lalu masuk tol Baros. Tidak macet sih tapi cukup berputar-putar, ya lumayan lah daripada harus jenuh kena macet.

Perjalanan di Tol cukup lancar dan kami sampai rumah dengan aman kurang lebih jam 10 malam.

Friday 8 May 2015

Road Trip ke Bali.

Sebenarnya perjalanan ini sudah lama dilakukan, tapi oleh satu hal dan lainnya saya belum sempat menuliskannya di blog ini. Nah, baru sekarang saya sempat membagi cerita perjalanan saya sekeluarga ke Bali... Dari Jakarta, naik Mobil.

Niatnya sih sudah tersusun sejak lama, mungkin sejak setelah lebaran tahun lalu. Tapi karena kesibukkan pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk ditinggal, akhirnya niat perjalanan ke Bali harus tertunda sampai akhir tahun.

Masa-masa sibuk sudah terlewati, akhirnya ada kesempatan untuk memulai perjalanan. Beberapa barang sudah siap, tidak lupa sepeda dibawa serta untuk menambah keasyikan ketika berkunjung di suatu daerah.


Tapi ya harus memilih satu sepeda saja, karena tidak memungkinkan untuk membawa ketiga jenis sepeda saya. Terpaksa dua sepeda saya yang lain harus dititipkan di workshop kawan.

Kurang lebih awal bulan Desember 2014 saya dan keluarga berangkat. Start berangkat pagi, dengan asumsi apabila perjalanan lancar, maka akan sampai di Solo sore atau menjelang malam hari. Kebetulan punya banyak saudara di Solo, jadi Solo selalu saya jadikan tempat transit. Perjalanan cukup lancar, tentu saja karena belum memasuki musim liburan. Dan sesuai jadwal sampai di Solo setelah Isya (karena membawa balita jadi kami harus sering berhenti untuk istirahat, makan dan segala urusan lainnya).

Di Solo saya menginap di rumah Kakak Ipar saya di dekat perbatasan Klaten. Setelah cukup beristirahat, saya mencoba bersepeda Solo-Jogja, awalnya sih mau foto-foto di Candi Prambanan, tapi ternyata setelah sampai Candi Prambanan sepeda tidak boleh masuk ke dalam lokasi Candi (harus dititipkan di Parkiran Motor). Ya sudah, terpaksa balik lagi ke Solo.


Dalam perjalanan pulang menuju Solo, saya sempat berkeliling Klaten sebentar, yaa hanya untuk sekedar mengetes kamera Go Pro yang belum lama dibeli. Ada satu hal yang menarik perhatian ketika saya berkeliling Klaten, yaitu papan petunjuk jalan bertuliskan "Snorkeling". Hmmm, agak aneh batin saya, kok Snorkeling di Klaten? Kan Klaten tidak punya laut.
Ternyata setelah saya browsing sebentar, saya menemukan hal yang sangat menarik. Tempat snorkeling tersebut dikenal dengan nama Umbul Ponggok. Oke nanti sebelum pulang ke Jakarta, saya harus mampir ke sini.



Ada sedikit kejadian tidak mengenakkan waktu pulang melewati Klaten. Karena keasyikan membetulkan posisi celana padding yang terlalu ketat, tidak sadar di depan ada mobil yang mau belok masuk gang. Telat mengerem dan cuma satu tangan pula (tangan yang satu sedang membetulkan posisi celana), akibatnya senggolan pun tidak bisa dihindari. Saya terpental dari sepeda dan terbanting di aspal cukup keras. Beruntung tidak ada luka berarti hanya sedikit memar, jersey dan bartape yang sobek. Lebih untungnya lagi tidak ada kerusakan di mobil yang saya tabrak dan orangnya cukup membantu. Ya sudah akhirnya sama-sama minta maaf dan pergi masing-masing.

Setelah cukup pulih dari rasa memar, akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan lagi perjalanan ke arah Jawa Timur. Dalam setiap perjalanan saya menuju Jawa Timur (dari Solo), saya selalu menghindari rute Sragen-Ngawi. Rute ini saya hindari karena pertama saya malas dengan lalu lintasnya yang didominasi oleh truk dan bus besar. Dan kedua saya malas dengan polisi yang tiba-tiba suka menyetop kita dengan alasan menginjak marka jalan (walaupun sebenarnya marka tersebut tidak diinjak). Jalur favorit saya adalah Rute Wonogiri-Ponorogo atau Tawangmangu-Madiun. Oleh karena rute Wonogiri-Ponorogo sudah terlalu sering dilewati, maka perjalanan kali ini saya memilih rute Tawangmangu-Madiun. Lagipula perjalanan ini saya tidak diburu waktu, walaupun rute Tawangmangu-Madiun sebenarnya cukup memakan waktu (karena melewati jalan berliku-liku melalui Gunung Lawu). Di sisi lain, rute ini saya pilih juga sebagai pembuktian bahwa apa yang (katanya) orang-orang bilang bahwa mobil keluarga berpenggerak depan kurang kuat buat nanjak. Nyatanya segala tanjakkan dan tikungan di daerah Tawangmangu lancar saja dilalui,bahkan dengan muatan sekalipun (isi 3 orang, barang bawaan di belakang dan sepeda di konde).


Rupanya kondisi jalan yang meliuk-liuk membuat Istri dan Si Kecil agak sedikit mabuk darat. Oleh karena itu terpaksa saya menepikan mobil sebentar di sebuah kedai kopi yang cukup nyaman juga tempat, tapi sayang saya lupa namanya. Mungkin lain waktu kalau saya lewat Tawangmangu saya akan mampir kesini lagi, terlebih lagi kedai kopi ini punya koneksi Wifi gratis dan internetnya cukup kencang untuk di daerah gunung,


Tempat transit berikutnya adalah Blitar. Ya tentu saja, karena ini kampung halaman istri saya dan tempat tinggal mertua saya. Jadi agak sedikit lama saya tinggal di Blitar, sekaligus untuk memulihkan fisik, maklum nyetir non-stop tanpa pengganti ratusan kilometer cukup menguras tenaga. Di Blitar saya juga menyempatkan diri untuk berkeliling dengan sepeda.


Kebetulan lokasi rumah mertua yang di daerah pegunungan sehingga banyak tempat yang asyik untuk dikunjungi dengan sepeda, tapi sayangnya sepeda yang saya bawa adalah sepeda balap dengan ban aspal. Jadinya hanya bisa menikmati dari pinggir saja, tidak bisa blusukan lebih jauh ke dalam.

Mumpung masih di Blitar, saya selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke Malang. Saya senang sekali dengan suasana Malang, kotanya cukup sejuk, banyak pilihan hiburan dan tentu saja kulinernya, saking banyaknya pilihan saya sampe sering bingung mau makan apa.

(Harmoni Cafe n Resto, Jl. Bromo, Malang)

(Blooms, Jl. Langsep, Malang)

Sayangnya, niat untuk melanjutkan perjalanan ke Bali harus ditunda sebentar, karena Lala harus masuk rumah sakit selama beberapa hari karena terkena penyakit pencernaan. Sungguh menyayat hati melihat anak saya yang tadinya sangat lincah lalu tergeletak lemas di rumah sakit. Untungnya Lala tidak terlalu lama di rumah sakit, hanya kurang lebih 4 hari, lalu kemudian boleh pulang. Walaupun begitu, tentu saja Lala harus diberikan waktu beberapa hari lagi sampai benar-benar pulih dan siap untuk melanjutkan petualangan pertamanya.

Setelah beberapa beristirahat dan dirasa Lala sudah kuat kembali, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Rute saya pilih Blitar-Malang-Probolinggo-Banyuwangi. Perjalanan menuju Banyuwangi cukup lancar, kami tiba di pelabuhan Ketapang sekitar jam 4 sore. Suasana pelabuhan pun cukup sepi, begitu juga di dalam feri. Waktu penyebrangan kurang lebih sekitar 45 menit.

Sampai di Bali sudah menjelang maghrib, sedangkan perjalanan ke Denpasar masih cukup jauh. Jadi saya memutuskan untuk menginap di sebuah hotel di Negara dan melanjutkan perjalanan besok pagi. Perjalanan melalui jalur selatan Bali sungguh mengasyikkan. Jalanan didominasi oleh jalur yang berliku dengan diselingi pemandangan persawahan dan beberapa pantai pasir putih dengan ombaknya. Sesampainya di Denpasar pada siang hari, saya langsung memutuskan untuk mencari penginapan. Oleh karena saya berencana untuk tinggal beberapa hari di Bali, maka pilihan untuk menyewa sebuah rumah adalah pilihan yang cukup ekonomis. Kebetulan dapat sebuah rumah yang tidak jauh dari pusat kota maupun di Pantai.

Berkunjung ke Bali tentu saja hal pertama yang dicari adalah Pantainya. Kami sekeluarga memilih Pantai Nusa Dua karena pantainya cukup landai dan ombaknya tenang. Lala sangat senang sekali bermain di pantai ini, apalagi Lala bertemu dengan teman baru sesama balita juga, dari Rusia.



Ketika sedang asyik main di pantai, saya ditawari oleh pengemudi perahu boat untuk paket trip ke pulau penyu dan juga snorkeling. Tentu saja tawaran ini tidak dapat saya tolak. Tapi sebelumnya si pengemudi berpesan agar harga yang diberikan tidak diberitahukan kepada turis asing, sebab dia memberi harga yang berbeda antara turis lokal dengan turis asing. Akhirnya kami sekeluarga pergi ke pulau penyu tersebut. Perjalanan menempuh waktu kurang lebih 30 menit dengan perahu boat. Setibanya di lokasi, kami langsung disambut oleh staff pulau tersebut dan diberi hidangan pembuka (berbayar tentunya), oiya jangan lupa siapkan uang tunai kurang lebih 10.000 rupiah per orang untuk biaya masuk ke pulaunya. 



Setelah cukup puas melihat penangkaran penyu-penyu dan beberapa hewan lain (ada beberapa jenis burung dan juga beberapa jenis reptil), kami harus kembali ke pantai tempat kami berangkat tadi. Tapi sebelumnya saya harus mencoba snorkeling terlebih dahulu. 




Sayangnya saya kurang puas dengan perlengkapan snorkeling sewaan tersebut. 

Hari berikutnya adalah mampir ke rumah kawan saya sesama penggemar sepeda di daerah Ubud. Sebelumnya saya belum pernah ketemu dengan kawan saya, hanya sering berkomunikasi melalui forum sepeda di Internet. Setelah puas ngobrol ngalur ngidul tentang sepeda, saya harus berpamitan untuk kembali ke penginapan, pulangnya tidak lupa untuk mampir melihat-lihat monyet di Ubud Monkey Forest. Monyet-monyetnya sebenernya cukup jinak, yang penting kita tidak usil duluan ke mereka. 



Setelah lelah berkunjung ke beberapa lokasi wisata, maka jadwal hari berikutnya adalah Kuliner. Kebetulan istri dapat informasi mengenai restoran burger yang recommended di daerah Seminyak. Akhirnya kami meluncur ke lokasi, dan benar saja, review jarang meleset. Burgernya cukup enak dengan harga yang cukup wajar.

(Wacko Burger)

Oleh karena hari masih siang dan lokasi restoran masih dekat dengan pantai, maka tidak ada salahnya untuk sekedar mampir melihat-lihat pantainya. Tapi sebelumnya saya dan istri membuat perjanjian dengan Lala, karena kemarin Lala sudah main di pantai, jadi hari ini cuma lihat-lihat saja ya, tidak main air di pantai. Karena kami tidak ada yang bawa baju ganti dan untungnya Lala menyanggupi perjanjian tersebut.

Tapi apa daya, janji tinggal janji. Yang namanya Lala kalau lihat air langsung histeris dan akhirnya main air lagi deh kami...




Terpaksa kami pulang ke penginapan dengan kondisi basah kuyup karena hanya Lala yang bawa baju ganti sementara saya dan istri tidak.

Hari berikutnya sebelum kami pulang kembali ke Pulau Jawa, kami harus menyempatkan diri untuk melihat tari kecak di Uluwatu. Perjalanan ke Uluwatu ternyata cukup memakan waktu daripada yang saya bayangkan. Untungnya kami tiba di lokasi tepat waktu dan acaranya baru saja di mulai. Tidak lupa siapkan uang kurang lebih 100.000/orang untuk membeli tiket tari kecaknya.



Melihat keepikan cerita Ramayana sambil menikmati matahari terbenam sungguh sangat memukau. Setiap tamu yang datang untuk melihat tari kecak disediakan skrip ceritanya sesuai dengan asal turisnya. Saya rasa harga tiket tersebut cukup sepadan, mengingat panitia juga harus membuat skrip dan memfoto kopi dalam berbagai bahasa, belum lagi untuk honor para artis tarinya dan biaya perawatan lokasi.

Sebenarnya kami masih ingin tinggal lebih lama lagi di Bali, tapi apa daya rutinitas di Ibukota sudah menunggu. Akhirnya kami harus kembali meninggalkan Bali. Perjalanan pulang ke arah pelabuhan Gilimanuk kali ini saya mencoba melalui jalur Utara Bali. Dari Denpasar saya mengambil rute Bedugul menuju Buleleng. melewati Danau Beratan. Sebenarnya saya ingin mencoba jalur yang melalui Danau Batur, tapi nanti sampai Gilimanuk bisa terlalu malam. Ternyata rute Buleleng-Gilimanuk didominasi jalur yang lurus dan panjang, tapi dari segi pemandangan kurang bisa dinikmati, karena pantai Utara Bali kurang lebih hampir sama dengan Pantai Utara di Pulau Jawa (bukan hamparan pasir putih dan ombak yang seru). Sampai di Gilimanuk menjelang sore, waktu tempuh penyebrangan juga sama dengan waktu berangkat, tapi bedanya kondisi feri cukup penuh. Sampai di Banyuwangi sudah menjelang malam dan kami memutuskan untuk menginap di rumah saudara di Banyuwangi.

Singkat cerita, kami sudah sampai lagi di Blitar untuk memulihkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Ibukota. Selama di Blitar saya masih tetap terbayang pesona Snorkeling di Umbul Ponggok, Klaten (melihat-lihat gambar dari Internet). Di awal saya berjanji untuk mampir ke Umbul Ponggok tersebut itu, tetapi saya ingat pengalaman saya menggunakan alat snorkeling yang kurang memuaskan waktu di Bali. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli sendiri perlengkapan snorkeling. Oleh karena di Blitar tidak ada, saya terpaksa harus menyetir ke Surabaya pulang-pergi hanya demi membeli perlengkapan snorkeling yang memadai.

Beberapa hari berlalu di Blitar, akhirnya kami memulai lagi perjalanan pulang ke Ibukota. Seperti biasa melewati Solo sebagai tempat transit. Setelah transit satu malam, besoknya saya melanjutkan perjalanan lagi. Tentunya mampir ke Umbul Ponggok terlebih dahulu. Beruntung saya mampir pada hari biasa dan siang hari, jadi lokasinya cukup sepi dan sinar matahari sangat cukup menyinari sampai dasar kolam.

Sekilas mengenai Umbul Ponggok adalah sebuah kolam mata air tawar yang cukup luas dengan ribuan (mungkin hingga puluhan-ratusan ribu) ikan hidup di dalamnya. Jadi kita bisa menikmati kesegaran mata air dan juga menikmati sensasi berenang bersama ikan. Walaupun berenang bersama ikan-ikan kolam tersebut tidak amis karena airnya selalu mengalir. Tiket masuknya pun sangat murah (bahkan terlalu murah bagi saya), hanya 5.000 saja. Di sini juga disediakan persewaan perlengkapan selam, mulai dari pelampung, snorkel hingga alat scuba diving juga ada. 










Dasar kolamnya adalah hamparan pasir dengan batu-batuan berbagai ukuran. Tapi sayang, saya masih sering melihat ada beberapa sampah yang terselip diantara pasir dan batu-batuan. Mengobrol dengan kawan saya yang tinggal di Jogja mengenai Umbul Ponggok, dia kasih saran sebaiknya memang kalau ke Umbul Ponggok hari biasa, jangan weekend atau hari libur, karena airnya keruh. Bisa jadi karena dasarnya adalah pasir, dengan banyaknya orang yang berenang bisa saja pasirnya naik yang menyebabkan airnya keruh.

Setelah puas beberapa jam snorkeling di Umbul Ponggok, kami harus melanjutkan lagi perjalanan menuju Jakarta. Total kilometer yang kami tempuh mulai dari berangkat hingga pulang tercatat hampir 7200km.