Saturday 26 May 2012

Waspada Modus Kejahatan Debt Collector Palsu

Kemarin sore Bapak saya bercerita tentang Debt Collector palsu yang ternyata sudah 3 kali beraksi di lingkungan RW sini. Modusnya adalah berpura-pura sebagai Debt Collector (Penagih), biasanya Debt Collector untuk mobil atau motor, dan mereka membawa dokumen-dokumen palsu berupa surat kuasa palsu dan catatan kredit (yang telah diedit dan dipalsukan tentunya).



Biasanya mereka mengincar calon korban yang cenderung lemah, misalnya istri target (ketika sang suami lagi tidak ada di rumah), anak si target, atau pembantu si target.

Kejadian pertama adalah ketika Debt Collector palsu ini mendatangi salah seorang warga sini, kebetulan memang di rumah tersebut hanya ada istrinya. Debt Collector ini datang dengan tujuan untuk menarik kembali motor sang suami dengan alasan menunggak lama (dengan menunjukkan dokumen-dokumen palsu tersebut). Padahal, menurut pengakuan sang istri, motor tersebut selalu di bayar tepat waktu. Mungkin karena dalam posisi terdesak dan takut (pada umumnya secara fisik Debt Collector itu menyeramkan), akhirnya dengan pasrah motor tersebut dibawa.

Kejadian kedua hampir sama (beda korban tentunya), motornya sedang dibawa oleh anaknya lalu kemudian dicegat dan diminta dengan alasan motor tersebut menunggak lama.

Sepertinya sasaran para Debt Collector palsu ini memang ketika properti (motor/mobil) sedang tidak dipakai atau dibawah kuasa oleh si korban, bisa dipakai oleh anggota keluarganya yang lain, atau dipinjam oleh teman, atau mungkin sedang disewakan dengan pihak lain. Jadi biasanya ketika berhadapan dengan Debt Collector palsu ini, si pembawa properti ini susah untuk berargumen karena tidak tahu menahu sejarah kreditnya.
Tapi tidak semua Debt Collector palsu ini lihai dalam mencari mangsa, ada juga yang secara acak dalam memilih korbannya, seperti kasus ketiga di bawah.

Kasus ketiga adalah ketika salah seorang warga sini didatangi debt collector palsu untuk menarik motor. Si pemilik motor tersebut langsung menghardik debt collector palsu tersebut sambil mengatakan bahwa motor ini dibeli kontan. Debt Collector itu kaget dan mengingat posisinya sudah sangat lemah, maka dia buru-buru pergi dengan alasan salah alamat, beruntung dia tidak diteriaki maling. Sebab jika iya sudah dipastikan babak belur dihajar warga sini yang sangat padat penduduknya.

Semakin hari semakin banyak tindak kejahatan yang membuat kita jadi takut, Tapi hal tersebut jangan sampai menyurutkan semangat kita untuk mencari penghidupan yang halal. Mudah-mudahan tips di bawah dapat membantu ketika bertemu dengan Debt Collector palsu tersebut.

  1. Tenang, jangan panik. Pastikan anda tahu betul sejarah kredit properti anda (Mobil/Motor), kapan anda terakhir membayar, bagaimana prosedur pembayaran dan kepada siapa. Simpan dengan benar dokumen-dokumen kredit dan simpanlah di tempat yang aman tapi mudah terjangkau, sehingga apabila terjadi hal yang demikian kita mudah untuk meraih dokumen-dokumen tersebut untuk bahan argumen.
  2. Jika anda seorang pemberani dan tangguh (macam Marcopolo), serta berani mengambil resiko yang terjadi, tidak ada salahnya beradu argumen hingga membuat kegaduhan. Sehingga akan menimbulkan rasa penasaran warga sekitar untuk melihat apa yang  terjadi (tentunya hal ini harus didukung dengan kondisi warga sekitar yang kompak). Dengan ini diharapkan posisi Debt Collector palsu ini terjepit
  3. Jika tidak memungkinkan untuk melakukan aksi nomor 1 dan 2 di atas, misalnya saja mobil/motor tersebut adalah pinjaman atau sewaan. Tetaplah tenang, ikuti alur mainnya dan bilang kalau mobil/motor dapat ditarik asalkan prosedur penarikan dilakukan di kantor bank atau leasing yang bersangkutan. Debt Collector yang benar pasti berani dan mau apabila ditantang untuk melakukan penarikan di kantor. Karena hal tersebut juga memudahkan tugas mereka. Saya pun pernah mengalami hal ini ketika saya sedang memakai mobil sitaan milik kantor bapak saya, ketika sedang dibawa jalan saya langsung dicegat oleh 3 mobil yang berisi para debt collector. Mereka mengatakan bahwa sang pemilik mobil (yang sedang dalam penyitaan kantor bapak saya), ternyata menunggak hingga 5 bulan dan sudah waktunya ditarik. Oleh mereka penarikan akan dilakukan di kantor leasing. Saya pun ikut sampai ke kantor mereka (sambil memastikan bahwa benar atau tidak), dan ternyata memang benar. Setelah melakukan pengecekan fisik kendaraan dan menandatangani berita acara, saya pun pergi. Dongkol memang, tapi ya bagaimana lagi memang secara legal posisi mereka benar, karena BPKB masih berada dalam penguasaan pihak leasing. Oke kembali ke tips, jika memang ternyata si Debt Collector ini mau di ajak ke kantornya, pastikan anda tidak sendirian atau minta seseorang mengikuti atau mengawal anda, antisipasi kalau terjadi apa-apa di jalan.
  4. Jangan mudah percaya dokumen-dokumen yang mereka bawa (berlaku juga untuk Debt Collector asli), karena dengan kecanggihan teknologi sekarang apapun dapat dipalsukan dan dimodifikasi. Jika kita memang dalam posisi benar jangan ragu untuk melakukan hal-hal tersebut di atas.
Semoga tulisan ini dapat berguna dan dapat meningkatkan kewaspadaan kita terhadap potensi-potensi kejahatan yang makin beraneka ragam.

Salam

Saturday 12 May 2012

Perjalanan Timika (II)


Akhirnya dapat juga pekerjaan di Timika, setelah sebelumnya (Perjalanan ke Timika I), hanya survey ke lokasi. Kali ini, saya memaksakan diri untuk membawa sepeda di perjalanan ini. Tujuan awalnya adalah untuk transportasi ke tempat perekonomian dan tempat logistik terdekat. Karena pada waktu survey kemarin jaraknya masih sanggup untuk ditempuh dengan sepeda. Selain itu agar ada yang diceritakan di blog ini, yaitu pengalaman bersepeda di Timika.

Awalnya saya ingin bawa roadbike saya ke Timika, namun terhalang kendala roda belakang tidak bisa lepas dari RD hangernya. Sepertinya Locknut Freehub tersangkut di RD Hanger (aneh juga, padahal ini baru beli langsung dari Pabrik Polygon di Surabaya dan dicocokkan dengan type sepedanya). Akhirnya diputuskan untuk membawa Surly, yang sebelumnya saya set ke fixed gear terlebih dahulu. Ada untungnya juga bawa Surly, jadi tidak ribet waktu membongkar dan packing ke dalam dus untuk dimasukkan ke dalam bagasi pesawat.

Setibanya di lokasi, langsung beres-beres barang dan merakit kembali sepeda. Ternyata ada lagi kendala, sekarang seatpostnya macet di posisi paling rendah (selama ini memang dipakai istri di posisi paling rendah dan sudah lama tidak dinaik-turunkan). Berbagai cara sudah dicoba, mulai dari system getok, hingga kepala seatpost diputar pakai kunci inggris namun tetap gagal.
Sempat frustasi karena tak kunjung berhasil (sebab tujuan utama saya bawa sepeda adalah untuk ke lokasi lokasi logistik terdekat). Beruntung ada penjaga camp yang berbaik hati meminjamkan sepeda motornya, sehingga urusan penyediaan logistik masih bias teratasi.

Yang mengejutkan di sini adalah harga bensin (premium dan solar). Disaat pemuda ibukota demo kenaikan harga BBM, di sini saya dan penduduk setempat harus beli bensin (eceran), seharga Rp. 20.000 per botol air mineral 1,5 liter. Jika ingin harga normal silakan saja antri di SPBU Pertamina hingga sore bahkan bisa sampai besok. Ketika saya iseng motret kondisi antrian di SPBU, saya sempat ngobrol dengan salah satu supir angkot (disana sebutannya Taxi) yang sedang mengantri.
“Kondisi sekarang memang minyak (bensin) sedang susah, pasokan terhambat di Ambon yang sedang cuaca buruk. Kami nyupir buat cari makan, jadi mau tak mau harus mengantri di SPBU, walaupun baru bisa dapat nanti malam. Kalau beli di eceran kami tidak dapat apa-apa”, kata supir tersebut. Dia juga menambahkan bahwa di Timika sendiri hanya terdapat 3 Pom Bensin.



Nah, yang menjengkelkan  ketika keesokan harinya saya mau beli bensin untuk motor pinjaman (tidak enak kalau hanya pinjam tapi tidak membelikan bensin), saya dibuat kaget dengan harga bensin yang langsung melonjak jadi Rp. 30.000 per botol air mineral 1,5 liter. Padahal baru kemarin harganya Rp. 20.000. Naik 50% dalam kurun waktu kurang dari 24 jam!!

Awal-awal di sini saya cukup kaget denga harga yang ada. Gas Elpiji 12kg misalnya, harganya Rp.210.000 dan ya bensin itu tadi. Saya tidak bisa berlama-lama dengan kondisi ini, jika saya tetap bergantung kepada sepeda motor bisa-bisa saya tekor harus membelikan bensin eceran dengan harga segitu, sedangkan meluangkan waktu seharian untuk mengantri bensin juga tidak mungkin, bisa-bisa pekerjaan saya terbengkalai. Akhirnya saya memaksakan diri untuk mencari WD40 dan kunci pipa ukuran besar ke toko matrial dengan kondisi seatpost rendah. Dengan dibantu oleh seorang tenaga tukang akhirnya permasalahan seatpost dapat teratasi. Sepanjang perjalanan dari material ke camp saya melihat beberapa pemandangan. Pertama menyedihkan, banyak pengedara motor yang kehabisan  bensin mendorong motornya mencari pengecer yang sudah banyak kehabisan persediaan bensin juga. Kedua agak lucu, banyak pelajar SMP (bahkan siswinya) pulang sekolah dengan membawa parang besar, mungkin karena rute perjalanan mereka banyak melewati semak belukar yang memang tinggi-tinggi.

Sudah empat hari saya berada di Timika, dengan permasalahan sepeda yang sudah teratasi, akhirnya saya mencoba sepedahan ke Kota Timika. Jarak dari camp kami ke kota tidak terlalu jauh, saya tidak tahu pasti berapa jaraknya tapi yang jelas memakan waktu kurang dari sejam dengan kecepatan normal bersepeda. Terus mengayuh sampai akhirnya ke ujung airport. Agak sedikit heran, padahal banyak ditemukan toko dan bengkel sepeda tapi kok saya jarang melihat orang bersepeda di sini. Tapi yang patut diacungi jempol adalah, tingkat disiplin berlalu lintasnya yang sangat tinggi. Tidak ada pengemudi motor/mobil yang menyerobot lampu merah walaupun tidak ada polisi, semua tertib berhenti tepat di belakang lampu merah yang bahkan tidak ada garis stop. Begitu juga dengan kecepatan kendaraan, meskipun aspal jalanan dominan hotmix super mulus, tidak ditemukan pengemudi yang mengendarai kendaraannya dengan kebut-kebutan dan ugal-ugalan. Semua berjalan tertib dan normal.
Selesai bersepeda ke kota, saya harus kembali pulang ke camp untuk melanjutkan pekerjaan. Tapi sebelumnya saya menyempatkan diri ke Kuala Kencana, gerbang masuk FreePort yang tidak jauh dari camp. Tapi saya tidak masuk ke dalamnya, karena harus melewati gerbang pos dengan tingkat keamanan yang ketat.





Hari kelima saya ada di Timika, saya pun iseng mau mencoba gowes ke arah pelabuhan. Sialnya siang hari hujan deras (padahal paginya cerah dan panas). Hujan baru reda sekitar jam duaan. Kesorean untuk memulai gowes sebenarnya, mengingat untuk gowes ke pusat Kota Timika memakan waktu kurang lebih 45 menit. Tapi ya sudah, kepalang tanggung, lanjutkan saja. Untuk ke arah pelabuhan saya harus melewati pusat kota Timika, cukup ramai memang, dengan aktivitas perdagangan dan usaha, pangkalan becak dan angkot. Berbekal nekat, saya nanya ke orang yang sedang lewat arah ke pelabuhan, sambil menunjukkan arah dia bilang masih jauh katanya. Cukup sepadan untuk dicoba. Saya tidak tahu sudah berapa kilometer sudah saya tempuh, tapi yang jelas sudah cukup lama, lebih dari satu jam yang jelas. Kualitas jalan ke arah pelabuhan sedikit berbeda dengan kualitas jalan ke arah Kuala Kencana. Apabila ke arah Kuala Kencana jalannya begitu halus dan mulus, jalan menuju pelabuhan terasa sedikit rendah kualitasnya. Memang aspalnya mulus, tapi terkadang masih ada ditemui jalanan yang tidak rata dan berlubang, terlihat memang di sini kepentingan siapa yang berbicara. Sepanjang perjalanan masih banyak ditemui rumah-rumah sederhana yang terbuat dari papan kayu dan tanpa akses listrik, padahal sudah dilalui kabel PLN.








Hari sudah semakin sore tapi Pelabuhan tak kunjung terlihat, tapi saya yakin ini memang jalannya, sebab sepanjang jalan saya menemui orang berjalan dengan membawa ikan besar dan banyak rumah-rumah menaruh mesin perahu temple di teras rumahnya. Pasti tidak jauh lagi, dalam hati…
Tapi karena tak kunjung tiba, akhirnya saya bertanya kepada pengendara motor yang sedang lewat. Sambil setengah tertawa meledek, dia bilang masih sangat jauuuuh. Baiklah, hari sudah semakin sore, pulang ke camp dengan kondisi jalanan gelap itu tidak bijaksana. Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk putar arah dan kembali ke camp.

Hari-hari di Timika saya lalui, tak terasa saya sudah hampir satu bulan di sini. Selama masa ini, saya sempat terkena malaria. Awalnya hanya bersin-bersin karena pilek, tapi di malam pertama kok demam? Rasa demamnya sungguh tidak nyaman, hampir sama seperti demam lainnya, tapi menyerangnya di malam hari (mirip seperti gejala demam berdarah) dan ditambah rasa ngilu di daerah paha belakang hingga betis. Oleh karena demam tak kunjung hilang selama 3 malam, akhirnya saya menghubungi teman saya untuk minta diantar ke klinik untuk mendapatkan perawatan. Saya diberi suntikan dan obat anti malaria untuk diminum selama beberapa hari. Oleh karena di klinik, biaya pengobatan cenderung mahal. Hari-hari pertama mengkonsumsi obat malaria ini rasanya sungguh tidak nyaman, rasa mual yang hebat dan yang lebih tidak enak lagi adalah gangguan tidur. Pada hari pertama saya minum obat anti malaria ini, malamnya saya sama sekali tidak bisa tidur. Mata dipejamkan sampai bagaimanapun juga tetap tidak bisa tidur sampai pagi. Anehnya, di pagi hari badan sama sekali tidak terasa capek karena malamnya tidak tidur (tidak seperti kondisi badan habis bergadang yang biasanya badan menjadi lesu). Wah tidak beres ini, siangnya saya harus memaksakan untuk tidur walaupun sebentar. Untungnya kondisi tidak nyaman ini hanya berlangsung sehari saja, malam hari setelahnya saya bisa tidur dengan normal.

Malaria memang menjadi masih menjadi momok di sini, apabila ada orang terkena demam, kecurigaan pertama langsung malaria. Benar saja, salah satu tim saya gentian kena malaria. Awalnya dia demam disertai mual-mual dan nyeri di sendi. Langsung kami bawa ke Puskesmas (konon katanya murah) untuk di cek darahnya dan diberi pertolongan pertama. Benar saja, ternyata salah seorang tim saya kena Malaria Tropika. Oleh Puskesmas diberi beberapa obat. Hebatnya, biaya pengobatan Puskesmas di sini adalah GRATIS. Walaupun daerah endemic, namun untuk akses kesehatan terutama bagi warga kurang mampu pelayanannya cukup baik.

Setelah saya ngobrol-ngobrol dengan kawan saya yang asli sini, di seluruh Papua khusus untuk Malaria biaya pengobatan untuk di Puskesmas dan RSUD memang digratiskan, karena memang sudah menjadi program pemerintah daerah setempat.

Hari demi hari berlalu, saya tak lagi sempat menulis catatan perjalanan (yang akan saya gunakan untuk menulis blog ini), dikarenakan kondisi pekerjaan yang mengharuskan cepat selesai. Saya juga tidak mau berlama-lama di sini, mengingat malaria sudah menjangkiti saya dan salah seorang anak buah saya, saya tidak mau malaria juga menjangkiti anak buah saya yang lain.

Hari-hari terakhir saya di Timika sudah semakin dekat, pekerjaan sudah selesai, tiket pulang sudah di tangan, tinggal bersiap-siap. Sehari sebelum pulang, saya mensempatkan diri ke kota Timika untuk makan siang dengan meminjam motor penjaga camp. Saya melewati pom bensin, kok sudah tidak ada antrian lagi? Akhirnya saya mampir untuk mengisi bensin. Menurut kabar, sang penimbun (penyebab semua kekacauan dan tersendatnya pasokan bensin) sudah tertangkap. Malamnya, badan saya berasa tidak enak lagi, sendi-sendi paha sudah mulai berasa ngilu lagi. Gejala yang sama saya rasakan ketika malaria waktu itu. Dalam hati saya berfikir, masa kumat lagi?
Perjalanan Timika - Makasar - Jakarta serasa perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, karena saya harus melawan rasa pusing dan demam sepanjang perjalanan. Sesampainya di rumah, karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya saya pun ke Rumah Sakit untuk diberi pengobatan. Untungnya setelah melalui pemeriksaan laboratorium, dinyatakan negatif malaria, tapi malah terdeteksi typus.
Melegakan, setidaknya typus masih umum dan dapat ditangani oleh tenaga medis kota besar.
Lain halnya jika malaria, mengingat kota besar seperti JABODETABEK sudah terbebas malaria, maka tidak banyak tenaga medis yang paham bagaimana menangani penyakit tersebut. 
Benar saja, sebab di rumah sakit tempat saya periksa selain tidak punya obatnya, pegawai customer servicenya bilang bahwa Malaria itu sama dengan DBD. Sepertinya itu pegawai harus mengundurkan diri dulu dan kembali ke sekolah yang benar sebelum terjun ke dunia kerja agar tidak menyesatkan orang lain, apalagi di rumah sakit yang berkaitan dengan kesehatan bahkan nyawa sesorang.

Dan saya pun disarankan oleh dokter untuk bedrest, bahkan ketika tulisan ini dipublikasi saya masih dalam kondisi bedrest...

Membosankan...

Sepedahan di Blitar

Sebenarnya ini perjalanan bersepeda ini sudah cukup lama, setahun yang lalu. Tapi saya baru sempat menulisnya sekarang. Sebenarnya bukan baru sempat sih, tapi lupa menaruh foto-fotonya ada dimana, heheheh...

Tahun lalu waktu mudik lebaran (kalau tidak salah ingat), saya dan istri mudik ke kampung halaman istri di Blitar, Jawa Timur. Mengingat letak rumah mertua berada di bukit dan belakang rumahnya pekarangan yang luas, maka saya membawa serta sepeda MTB Hardtail pinjaman dalam perjalanan mudik.

Setelah beberapa hari silaturahmi keliling dengan keluarga, kini saatnya saya mengeluarkan sepeda. Percobaan pertama adalah bersepeda yang dekat-dekat dulu, dimulai dari pekarangan belakang rumah...


Pekarangan belakang rumah berkontur bukit dengan banyak pohon-pohon jati. Tapi sayang setelah muter-muter beberapa saat ternyata lebih banyak jalan buntu, kalau kata teman-teman saya biasa disebut "Tidak Gowesable".Hari berikutnya mencoba lebih jauh lagi, masih tidak jauh dari rumah. Mencoba lewat jalur persawahan dan berkebunan. Kondisi pada waktu lagi musim kemarau, jadinya pemandangan kebun dan sawah didominasi oleh warna daun-daun yang mengering.



Bebebrapa hari kemudian saya dapat sms temen bersepeda saya di Jakarta, yang kebetulan juga lagi ada di Blitar. Dia sms bertemu dengan bikepacker bule, yang lagi touring keliling Indonesia dan meminta tolong komunitas sepeda setempat untuk menemaninya menuju perbatasan. Saya pun menyetujuinya dan janjian besok pagi di kota.

Besok paginya saya langsung ke kota untuk bertemu dengan teman saya dan tentunya si bikepacker itu sendiri. Sebenarnya bukan komunitas sepeda setempat jadinya, karena cuma berlima. 

Tanpa menunggu lama kami pun berangkat. Dia bercerita berangkat dari Australia, lalu sampai ke Bali, kemudian menyeberang ke Pulau Jawa. Di Malang dia bercerita bersepeda di Gunung Bromo, sebelum akhirnya mencapai Blitar untuk istirahat. Dia berencana untuk bersepeda menuju Solo, awalnya dia ingin    melewati jalur Kediri, tapi saya sarankan untuk lewat Trenggalek-Ponorogo saja. Walaupun jalanannya lebih curam karena melewati gunung, tapi pemandangannya lebih indah dan tidak banyak kendaraan yang lalu lalang, terutama bis dan truk, karena memang bukan jalur utama.

Dia pun menyetujui pilihan tersebut. Awalnya kami berencana hanya mengantarnya sampai perbatasan Blitar-Tulungagung, tapi rupanya kami keasyikan gowes sambil ngobrol hingga akhirnya kami melewati kota Tulungagung dan mendekati perbatasan Kabupaten Trenggalek. Gowes beramai-ramai menuju perbatasan Kabupaten Trenggalek tidak terasa melelahkan walaupun jaraknya kurang lebih 40 km dari tempat kami mulai. Entah karena sambil ngobrol atau karena konturnya yang cenderung menurun.

                    

Nah, masalah tiba ketika perjalanan pulang. Perjalanan kembali menuju Blitar terasa sangat melelahkan, ya sepertinya karena perjalanan pulang ini adalah tanjakan halus sepanjang perjalanan.

Setelah beberapa km gowes kelelahan, akhirnya sampai juga di Blitar. Tinggal beberapa km lagi menuju rumah. Setelah cek endomondo, ternyata perjalanan tadi "hanya" 80km, kurang 20km lagi untuk mencapai 100km. Akhirnya setelah istirahat sebentar saya memutuskan untuk blusukan 20km lagi. Kali ini masuk hutan, bukan onroad.
Entah saya ada dimana yang jelas mblasak-mblusuk ke dalam perkebunan jati. Ban yang saya pakai adalah ban untuk jalan aspal, beruntung tanahnya sangat kering jadi masih sangat bisa dilalui naik sepeda.

Lucunya trek yang mungkin oleh sebagian orang akan dianggap sebagai trek XC, di sini justru dijadikan "Fun Bike" ulang tahun kota Blitar. Terbukti dengan banyaknya papan penunjuk arah. Iseng-iseng saya ikuti petunjuk-petunjuk arah tersebut. 



Ternyata memang cukup "Fun", ya seharusnya konsep Fun Bike memang seperti ini. Bukan bergerombol bersepeda mumutari  beberapa blok kota lalu berharap undian berhadiah...


Setelah blasak blusuk beberapa saat, akhirnya layar endomondo sudah menunjukkan 100km kurang sedikit. Waktunya untuk pulang ke rumah. Dan jalan pulang menuju ke rumah itu nanjaknya melelahkan..